Translate

Rabu, 07 Januari 2015

Selayar... Sejarah Para Pelayar

Awal ketika ditawari pekerjaan ini saya langsung googling peta. Dimanakah letak Kabupaten Kepulauan Selayar itu? Girang bukan kepalang melihat di peta bahwa kabupaten ini terletak di selatan Pulau Sulawesi. Yes! Akhirnya pergi ke timur juga selain Sumbawa. Saya mengunjungi Selayar sebanyak 2 kali, satu kali untuk pengambilan data dan satu kali untuk pelaporan. Dan saya selalu menanganggap pekerjaan ini adalah jalan-jalan yang diselingi bekerja.

Disebut sebagai kabupaten kepulauan karena memang terdiri dari banyak pulau, yaitu dengan jumlah 130 pulau (Perda Kabupaten Kepulauan Selayar, Nomor 10 Tahun 2009), dengan 34 pulau berpenghuni dan 96 pulau tidak berpenghuni. Pulau yang terbesar adalah Pulau Selayar, kemudian ada beberapa pulau berukuran sedang yang juga memiliki banyak penduduk diantaranya Pulau Jampea, Pulau Kalao, Pulau Bonerate, dan Pulau Kalaotoa. Selayar memiliki satu Taman Nasional (TN) yang sudah cukup terkenal, yaitu TN Taka Bonerate. Di TN Taka Bonerate terdapat hamparan karang yang cukup luas dan merupakan atol terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa.

Perjalanan panjang pun ditempuh. Dari Bogor saya dan pak Budi menuju bandara Soekarno-Hatta. Di bandara kami bertemu dengan pak X (baca pada tulisan sebelumnya) untuk terbang ke Makassar. Di Makassar kami bertemu dengan 3 anggota tim lain yaitu mas Edy, Darman dan mbak Misda. Dari Makassar sebenarnya ada penerbangan menuju Selayar, hanya saja tidak beroperasi setiap hari, jadilah kami naik bis. Dari Makassar ke Selayar perjalanan ditempuh selama 10 jam melewati Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, nyebrang kapal fery barulah sampai di Pulau Selayar. Lumayan mengurangi komposisi pant*t, walaupun saya sangat sangat tidak menginginkannya.
Salah satu bis ekonomi, saya kira kejadian seperti ini tipuan kamera ternyata sangat riil

Hari sudah malam ketika kami sampai di ibukota Selayar, yaitu Benteng. Kami langsung menuju sebuah hotel yang letaknya berhadapan dengan pantai. Kami pun beristirahat karena besok pagi agendanya adalah berkunjung ke dinas-dinas terkait.

Pagi harinya sebagai bentuk permisi kami menyampaikan Laporan Pendahuluan yang dihadiri oleh beberapa dinas. Selanjutnya kami mulai mengumpulkan data-data sekunder dengan mengunjungi beberapa dinas terkait. Ada hal yang sangat menarik selama kami berkunjung ke beberapa dinas, yaitu.... minuman yang disuguhkan. Saya tidak tau ini program pemerintah atau bagaimana tapi yang jelas di setiap dinas kami mendapat minuman yang sama. Sampai-sampai tiap masuk dinas saya atau mas Edy berceletuk "Coba tebak minumannya yang akan dikeluarkan apa?". Hahahhhaaaa...
Minuman andalan yang kami peroleh setiap berkunjung ke kantor dinas
Bahkan rapat pun minumannya tetap sama

Dan karena kami anak-anak Indonesia yang cerdas, meskipun tidak kami minum, minuman ini kami bawa dan masukkan dalam tas. Berkunjung ke dinas lain, disuguhi lagi. Lama-lama jadi banyak deh dan kami simpan di kulkas hotel. Kita memang harus kreatif jika ingin maju! Sepertinya itu statement yang tidak cocok dengan kondisi. Ya sudahlah...

Hari masih siang tapi pekerjaan di hari pertama sudah selesai. Kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pantai di depan hotel tempat menginap. Hotel tempat kami menginap letaknya tidak jauh dari pelabuhan. Terlihat jajaran kapal yang sedang berlabuh. Dari pelabuhan juga terlihat pemandangan yang sangat menarik yaitu jajaran rumah yang berwarna-warni.
Beberapa kapal yang sedang sandar di pelabuhan
Rumah warna-warni yang terlihat dari pelabuhan

Pagi hari setelah sarapan di hotel kami bersiap dengan tugas masing-masing. Oiya, saya menginap di hotel ini sekitar 4-6 malam, tapi menu sarapannya setiap pagi selalu sama, nasi, telur, mie. Luar biasa! Untung saya tidak menginap 1 bulan, pulang-pulang bisa bisulan ini mah.

Tim dipecah menjadi 2, tim pertama akan berkeliling Pulau Selayar untuk mengambil sampel air di 20 titik yang telah ditentukan, sedangkan tim kedua akan mengambil data mangrove dan lamun. Saya dan golongan orang muda lainnya, yaitu mas Edy, Darman, mbak Misda dan 1 lagi orang Dinas yang mendampingi (sebut saja mas Dinas, karena lagi-lagi saya lupa namanya) bertugas untuk berkeliling Pulau Selayar. Kami mulai berangkat sekitar pukul 08.00 WITA dengan diberi berbagai macam bekal selama perjalanan. Perjalanan ini dikomandoi oleh seorang nahkoda dan seorang awak kapal. Bekal yang kami bawa cukup banyak terutama air minum karena kami memang akan menginap. Walaupun kami sendiri belum tau mau menginap dimana.
 Kami siap berlayar, pak!
Pagi yang cerah di laut Selayar

Pengambilan data mulai dilakukan titik demi titik. Dalam satu titik ada beberapa data yang diambil seperti sampel untuk klorofil, suhu, kecerahan, pH, salinitas dan sebagainya. Selama perjalanan jika tidak mengambil sampel kami tidak terlalu banyak bicara karena suara kami kalah dengan suara deru mesin kapal yang beradu dengan debur ombak. Daripada saling berteriak dan dikira Haji Bolot, mending kami diam. Diam kami hanya tidak bicara, tapi mulut terus mengunyah apapun yang ada, dari kacang, kripik, coklat, chiki-chikian, alhamdulillah semuanya tandas.
Beberapa data yang diambil

Ombak di laut cukup besar tapi masih cukup bersahabat. Ada beberapa momen kapal menabrak punggung gelombang dan kami sedikit terlempar. Karena hal ini, beberapa dari kami tidur dengan badan diikatkan pada tiang kapal. Dengan kondisi apapun kami bisa tertidur kok, itu hal yang tidak perlu dirisaukan.
Tidur adalah kewajiban apapun kondisinya

Sore hari sudah menjelang. Kami memutuskan mendarat di bagian selatan Pulau Jampea untuk menumpang tidur, bebersih, makan malam dan menyiapkan bekal untuk besok. Karena air laut disini dangkal, kapal kami tidak bisa menepi, dan akhirnya kami turun menggunakan sterofoam yang oleh nahkoda memang sudah disiapkan untuk hal-hal seperti ini. Selamat datang di Pulau Jampea!
Tanda panah menunjukkan lokasi sekitar tempat kami mendarat
Ijin pada masyarakat setempat

Kami hanya berlima. Sedangkan 2 orang kapal memilih untuk tetap tinggal di kapal guna menjaga kapal dan barang yang kami tinggalkan di dalamnya. Setelah berbagai proses negosiasi kami akhirnya menginap di rumah sekretaris desa dan saudaranya. Kami diberi tau bahwa listrik di daerah ini hanya menyala dari jam 18.00-22.00 WITA. Kami pun langsung berebut mencharge segala perlengkapan. Menyedihkan memang, tapi inilah hal yang masih terjadi di banyak pulau kecil di Indonesia, infrastruktur yang belum memadai.

Saya dan mbak Misda diberikan tempat beristirahat di rumah saudara sekretaris desa, sedangkan mas Edy, Darman dan mas Dinas di rumah pak sekretaris desa yang terletak berdampingan. Malam sudah semakin larut, saya dan mbak Misda pamit masuk ke dalam rumah.

Saya minta ijin ke kamar mandi pada ibu pemilik rumah. Untuk masuk kamar mandi, saya melewati dapur dengan bentuk L, yang membuat saya bingung adalah kamar mandinya tidak ada pintunya. Hhmmm... Gak papa sih sebenernya, karena ibu pemilik rumah menjaga di dapur untuk kami. Hanya satu yang saya khawatirkan, saya sudah berlayar dari pagi hingga sore di atas kapal, terkena angin laut dan pastinya perut kembung. Sudah pasti saya harus mengeluarkan angin-angin itu. Dengan berat hati karena merasa akan menganggu ibu pemilik rumah, saya tetap menjalankan kebutuhan si perut. Maaf ya bu... harus mendengarkan dendang malam saya. 

Oiya, air yang tersedia juga hanya dalam ember-ember. Saya membatalkan niat mandi karena takut menghabiskan persediaan air di rumah itu. Yang penting urusan perut selesai, cuci muka, sikat gigi dan wudhu juga sudah dilakukan.

Pagi harinya setelah sarapan, mengambil pesanan bekal, membeli snack untuk perjalanan, kami berpamitan. Tanpa mandi tentunya. Di pantai kami melambaikan tangan pada nahkoda kapal agar segera menjemput dengan sampan sterofoamnya. Awak kapal pun dengan cekatan bergegas menjemput kami.
Sampan sterofoam untuk menuju kapal

Ada hal mengharukan ketika kami sudah sampai di kapal. Kami melihat adik-adik kecil yang siap berangkat bersekolah menaiki sampan sterofoam, dan tentu saja tidak boleh duduk, harus jongkok atau berdiri, agar bajunya tidak basah. Wahai para pelajar dan mahasiswa yang malas, tidakkah kalian liat begitu besarnya keinginan adik-adik kecil ini untuk bersekolah? Kenapa kalian malah tidak memanfaatkan kemudahan yang sudah kalian miliki. Note untuk diri sendiri juga!
Adik-adik yang siap berangkat sekolah

Kami melanjutkan pengambilan data di titik-titik selanjutnya. Dalam perjalanan pulang, ada yang sangat menarik perhatian kami, sesosok hewan di dalam laut mengepak-ngepak sehingga menimbulkan percikkan air. "Ikan pari!" ucap mbak Misda, saya pun menjawab "Gak ah, kan ikan pari ikan demersal." Ketika semakin dekat dengan percikkan saya baru sadar ternyata itu benar-benar ikan pari dengan ukuran yang cukup besar, entah dia sedang mengejar mangsa atau sekedar berjemur. Kami heboh bukan main. Senang rasanya melihat ikan pari tersebut dari atas kapal, walaupun tidak sempat tertangkap kamera. Selain ikan pari kami juga melihat ikan terbang berkeliaran di sekitar perairan. Just info, ikan terbang sebenarnya tidak terbang. Dia hanya melompat dengan kekuatan siripnya yang panjang. Hal ini biasanya dilakukan untuk menghindari predator. Sering kali dia melakukan lompatan lebih dari satu kali.

Sore hari sudah tiba dan pelabuhan di Benteng sudah mulai terlihat. Kami menghubungi tim di darat agar segera menjemput kami. Tapi mungkin yang lebih penting adalah menjemput sampel air laut yang kami ambil selama dua hari. Lalu kau anggap apa kami ini, bang? (sinetron...). Perjalanan yang sangat menyenangkan melihat sisi lain daerah di Indonesia yang sangat luas ini. Nice!
Sudah mirip anak laut belom?

Apalagi yang harus dilakukan di laut? Tentu saja berenang dan snorkling... Ini adalah salah satu hal yang saya tunggu-tunggu. Pagi berikutnya saatnya mengambil data tutupan terumbu karang dan lamun. Pastinya saya tidak mau ketinggalan untuk ikut dalam jalan-jalan ini. Hari itu saya pergi bersama mbak Misda, Darman, mas Dinas dan pak X. Ada beberapa target titik yang akan diambil datanya. Yang bertugas sebagai diver saat itu adalah Darman dan mas Dinas. Saya dan mbak Misda sih hanya tim hore yang ikut jalan-jalan saja. Kalau pak X tentu saja tugasnya untuk mengurus akomodasi kami.

Darman dan mas Dinas mulai turun dengan peralatan lengkap plus meteran dan alat tulis. Saya dan mbak Misda gak mau ketinggalan juga dong. Kami juga selalu ikut nyemplung di tiap titik saat mereka melakukan pengambilan data. Namanya juga tim hore. Karena tidak membawa fin kami tidak berani terlalu jauh dari kapal. Arus membawa kami mengikuti arahnya, kalau jauh-jauh dari kapal makin capek berenang balik ke kapalnya karena harus melawan arus.
Mas Dinas dan Darman yang lagi ngukur tutupan terumbu karang
Saya dan mbak Misda, tim hore yang snorkling gak jelas

Lokasi penyelaman dilakukan di sekitar perairan Bontoharu. Kondisi perairan di tempat kami snorkling cukup jernih. Selain itu berdasarkan data yang diperoleh tutupan terumbu karang hidup di tempat penyelaman >60%, yang artinya kondisi terumbu karang relatif baik. Komposisi karang mati, non acropora dan karang lunak di perairan ini memiliki prosentase yang hampir sama. Selain itu juga ditemukan beberapa spesies ikan karang yang sedang bermain diantara terumbu karang dan juga banyak terlihat bintang laut biru. Berarti dia bukan Patrick!
Beberapa terumbu karang di titik-titik penyelaman

Selanjutnya adalah pengambilan data di padang lamun. Saya tidak terlalu mengingat jelas lokasi tepatnya tapi yang jelas airnya sangat jernih dan menenangkan. Disini terjadi suatu tragedi. Saya turun tanpa menggunakan sandal, tidak lama berjalan di atas lamun saya pun berteriak heboh. Saya menginjak bulu babi! Hadeeeh...

Kalau bulu babi masih menempel, cara agar dia mau lepas dari kulit kita adalah dengan memberinya amoniak/NH3 (biar kliatan agak pinter). Dimana kita harus menemukannya? Mudah saja tinggal dipipisin aja, kan air kencing mengandung amoniak. Masalahnya si bulu babi sudah kabur tapi meninggalkan bulu-bulu halus yang masuk di telapak kaki. Tidak lama, mbak Misda juga menginjak bulu babi, entah dia makluk yang sama dengan yang saya injak atau bukan. Menyusul Darman, dia mengibas-ngibaskan tangan yang ternyata juga terkena bulu babi saat menghitung tutupan lamun. Mungkin bulu babi itu merasa terancam oleh kehadiran kami, atau bisa juga dia sebenarnya menagih retribusi masuk kawasan.

Darman berhasil menangkap bulu babi itu, kami pun berniat menggetoknya, karena konon gosipnya gonad bulu babi harganya mahal dan rasanya enak. Tiba-tiba entah bagaimana bulu babi itu bisa kabur menjatuhkan diri ke air lagi, kami cari tidak berhasil. Mungkinkah dia mengerti bahasa kami??

Selain bulu babi kami juga menemukan hewan lamun lainnya. Bintang laut! Ini jenis yang berbeda dari bintang laut biru yang kami temukan di terumbu karang tadi. Tapi warnanya juga bukan pink, berarti bukan Patrick juga!
Bintang laut dan bulu babi di lamun

Sore harinya kami pergi ke Desa Barugaiya yang terletak di Kecamatan Bontomanai. Jalanan yang kami lalui cukup baik walaupun tidak terlalu lebar. Yang membuat saya kagum adalah penguasa jalanan. Jalan yang kami lalui dikuasai oleh kambing-kambing yang sedang berjalan-jalan entah hendak mencari makan, mau pulang ke kandang atau sedang jalan-jalan sore saja. Mereka jalan tanpa ada penggembala. Sepertinya mereka sudah hapal jalannya. 
Kambing-kambing si penguasa jalanan

Desa Barugaiya ini terkenal karena merupakan tempat bertelur bagi penyu. Selain itu desa ini juga merupakan salah satu spot snorkling dan diving bagi pengunjung karena terumbu karangnya yang masih bagus.

Penduduk sekitar menetaskan telur-telur penyu, hingga menjadi tukik yang siap dilepaskan kembali ke alam bebas. Penyu sendiri terkenal sebagai hewan yang memiliki insting untuk mengingat tempat lahirnya, itu sebabnya penyu akan bertelur di tempat dia dulu dilahirkan. Untuk itu peran manusia dalam menjaga habitat penyu dan tidak mengkosumsi telurnya merupakan salah satu upaya dalam pelestarian penyu yang saat ini populasinya sudah semakin berkurang.
Tukik yang ditangkarkan oleh penduduk

Desa Barugaiya juga terkenal dengan sunsetnya yang indah. Kami sempat bertemu dengan bule yang datang untuk menikmati sunset di sini. Menurut penduduk sekitar, bule tersebut sudah lebih dari seminggu berada di Selayar dan setiap hari selalu menantikan sunset di daerah ini. Ketika matahari mulai tergelincir, saya pun mendapatkan momen sunset yang menurut saya sangat indah.
Sunset di Desa Barugaiya

Ketika saya datang untuk kedua kalinya ke Selayar, saya tidak lagi bisa bermain di alam bebas karena waktu yang sangat terbatas. Maka saya pun merengek-rengek minta diajak jalan ke tempat-tempat wisata sejarah saja. Karena saat itu saya perempuan sendiri, mungkin orang-orang tidak tega. Atau lebih tepatnya mereka malas mendengar saya merengek terus-menerus, jadilah kami mengunjungi beberapa tempat berikut.

Pertama kami menuju Bontoharu untuk melihat nekara perunggu (gong besar). Nekara diletakkan dalam suatu rumah di sebuah lapangan. Untuk masuk kita hanya perlu mengisi daftar hadir dan jika ikhlas bisa memasukkan uang untuk biaya perawatan nekara. Nekara yang terdapat di Selayar ini bentuknya seperti dandang terbalik dan diperkirakan telah dibuat sekitar 600 tahun SM di Cina. Menurut beberapa ahli hanya terdapat dua nekara perunggu di dunia satu terdapat di Selayar yang dianggap sebagai suami, satu lagi terdapat di Cina yang dianggap sebagi istri. Kasian sekali ya, mereka terpisah ribuan tahun lamanya, semoga kelak cinta mereka dipertemukan (???). Nekara perunggu yang terdapat di Selayar memiliki 4 arca kodok di bagian atasnya. Selain itu sekeliling nekara berhias gambar gajah, burung, ikan dan sirih. Nekara ini pertama kali ditemukan oleh seorang petani pada tahun 1686 dan kemudian dianggap sebagai benda pusaka kerajaan.
Nekara perunggu di Selayar

Berikutnya kami menuju ke tempat disimpannya jangkar raksasa dan meriam kuno yang terletak di Desa Nelayan Padang. Jangkar raksasa dan meriam kuno ini menunjukkan adanya lalu lintas perdagangan pada abad 17-18 di Selayar. Jangkar ini berasal dari seorang saudagar Cina yang datang untuk mendapatkan hasil laut dan di dalam kapalnya juga dilengkapi dengan persenjataan berupa meriam sebagai persiapan kemungkinan serangan dari bajak laut. Waah... bisa dibayangkan kalau jangkarnya aja segede ini, kapalnya segede apa. Ternyata perairan Indonesia sudah sangat terkenal pada jaman dulu sebagai jalur pelayaran, dan yang pasti sumberdayanya juga sangat terkenal sehingga banyak saudagar yang datang untuk berdagang.
Jangkar raksasa dan meriam kuno

Tujuan berikutnya adalah sebuah pantai. Pantai ini saya benar-benar lupa namanya apa. Di pantai ini terdapat batu-batuan yang bentuknya seperti karang atau mungkin memang karang dan memiliki banyak goa-goa pada bebatuan karang dan di bagian atasnya tumbuh kaktus-kaktus besar dengan suburnya. Ada kemungkinan ini adalah teras terangkat, ini adalah perkiraan kami. Apa itu teras terangkat? Teras terangkat adalah pulau karang yang muncul ke permukaan.
Pantai dengan goa-goa karang

Begitulah kisah perjalanan saya di Selayar. Sebuah kabupaten yang mungkin bahkan tidak semua orang Indonesia mengenalnya, namun memiliki peran penting pada jaman dahulu mengingat lokasinya yang sangat strategis sebagai jalur pelayaran baik lokal, nasional maupun internasional. Saya mendapat banyak pelajaran dari perjalanan ini, bahwa kita harus lebih memahami bangsa kita sendiri sebelum memahami bangsa lain. Begitu luasnya Indonesia, berapakah yang sudah kita jelajahi? Semoga lain kali saya bisa mengunjungi daerah-daerah lain di Indonesia dengan gratis lagi. Aamiin...

2 komentar:

  1. MaS Dinas itu bernamaaaa Rido.. Hohoho..
    Ditunggu kisah berikutnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oiya ya... mas Ridho. Hahahahaaa... makasih mbak Misda udah diingetin. Tapi biarlah tetap tertulis sebagai mas Dinas, lebih terlihat keren...

      Hapus