Translate

Kamis, 21 Mei 2015

Between 'Africa van Java' & Tabuhan Island



Kemana.. kemana... Kita pergi kemana? Mencari hiburan di malam minggu ini. Itu lagu jadul dan entah mengapa saya tau. Dan dalam lagu itu dia mengajak ke Monas, itu jauh neng karena posisi saya sekarang di Jember. Okelah kalau begitu mari nikmati eksotika Banyuwangi bagian utara hingga timur laut.

Pada long week end kali ini, perjuangan yang ditempuh untuk mengumpulkan teman main sangatlah susah. Entah mengapa rasanya orang-orang sulit sekali dirayu. Dan memang jadwal kami juga yang terlalu mepet ketika mem-floor-kan rencana jalan-jalan kali ini. Dengan segala upaya akhirnya Amel dan saya berhasil mengumpulkan 6 orang untuk share cost pergi ke Baluran dan Pulau Tabuhan.

Walaupun dari lahir tinggal di Jember tapi saya belum pernah sekalipun ke Baluran. Maklum keluarga saya tidak terlalu suka bepergian, lebih senang menikmati kebersamaan di dalam rumah. Namun dalam setiap keluarga selalu ada outlier, dan saya adalah outlier bidang jalan-jalan.

Keberangkatan kami hari itu agak kesiangan. Kami baru mulai berangkat dengan formasi full jam 8 lewat. Dan dalam perjalanan menuju Baluran terjadi sebuah insiden yaitu mobil Amel yang kami naiki ditabrak motor dari belakang. Penyoklah tuh bagian kanan belakang mobilnya. Dan kabur pula tuh orangnya.
 
Untungnya Amel cukup bijak dalam menyikapi keadaan. Jangan sampai insiden ini menjatuhkan mood kami. Sip... mari lanjutkan perjalanan dengan Bismillah.

Ketika adzan Dhuhur terdengar, kami tiba di Taman Nasional (TN) Baluran. TN Baluran ini terletak dalam dua lokasi administrasi yaitu Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Banyuwangi. Dengan luas 25.000 ha, TN ini memiliki 444 jenis tumbuhan dan dihuni oleh hewan-hewan, yaitu : 28 jenis ordo mamalia, 196 jenis aves, pisces dan reptilia. Bahkan TTN Baluran disebut sebagai miniatur hutan Indonesia karena semua jenis tipe hutan terdapat di TN ini. Dan yang paling dominan adalah padang sabana, hal itulah yang membuat lokasi ini disebut sebagai Little Africa in Java atau lebih dikenal sebagai Africa van Java http://balurannationalpark.web.id/.

Tiket masuk Baluran yang harus dibayar dalam satu paket adalah Rp 17.500/orang yang dibagi menjadi dua tiket yaitu Rp 10.000 untuk Pengamatan Hidupan Liar (ini bahasa baku gak sih?) dan Rp 7.500 untuk Nusantara (gak paham saya ini maksudnya apa), sedangkan parkir mobil Rp 15.000.
Plang di Dekat Loket 

Berdasarkan beberapa referensi yang saya baca ada tiga lokasi utama yang bisa dikunjungi yaitu Situs Goa Jepang, Pantai Bama dan Savana Bekol. Goa Jepang terletak di bagian depan setelah pintu masuk dan sebelum tempat pembelian tiket. Di dekat Goa Jepang ini juga terdapat sebuah Musholla agar memudahkan bagi yang ingin beribadah, karena menuju lokasi Bekol perjalanannya cukup jauh.
Musholla di Dekat Pintu Masuk
 
Goa Jepang merupakan penginggalan sejarah saat penjajahan Jepang, yang digunakan untuk benteng pertahanan dan penyimpanan amunisi. Dengan luas hanya 12m2, menurut saya ini lebih tepat disebut bunker, tidak berbeda jauh dengan bunker Jepang yang saya lihat di Sabang. Namun bedanya lokasi ini terlihat lebih tidak terawat.
Batu Peresmian Situs Goa Jepang, TN Baluran

Di Goa Jepang ini terdapat sebuah pohon besar yang posisinya seperti melindungi goa di bagian bawahnya. Sedangkan yang disebut Goa Jepang sendiri adalah ruangan yang kecil dan agak tersembunyi. Di dalamnya hanya terdapat sebuah ruangan kemudian ada tangga ke bawah dan sedikit ruangan pula di bagian bawah tangga. Tidak ada apapun di sini. Hanya ada beberapa kelelawar sebagai penghuninya. Dan suasananya horror. Kalau ajak Ki Bodo Amat pasti ada aja tuh komentarnya.
Bagian Depan Goa Jepang
Bagian Belakang Goa Jepang
 
Selanjutnya kami menuju Pantai Bama. Dalam perjalanan kami bertemu dengan kerbau yang baru saja melumpur, mungkin karena panasnya cuaca siang itu. Kami juga melewati segerombolan rusa yang sedang merumput.
Kerbau yang Usai Melumpur
Rombongan Rusa yang Sedang Merumput

Menurut teman saya Peki, yang pernah membantu penelitian S3 seseorang di TN Baluran, pantai yang indah terletak di Sijile. Namun apa daya saat saya tanya akses ke sana agak sulit dan biayanya juga mahal. Yo wes lah pantai Bama aja. Dari pintu masuk Baluran menuju Pantai Bama dibutuhkan waktu sekitar 1 jam. Sebenarnya jaraknya hanya sekitar 20km, tapi perjalanan ini terganggu oleh akses jalan yang rusak.
Akses Jalan Menuju Savana Bekol dan Pantai Bama
 
Pantai Bama itu... kotor karena banyak sampah dan crowded. Entahlah mungkin karena saat kami berkunjung memang long weekend jadi begitulah kondisinya. Pantainya sebenarnya cukup indah, sayangnya ya kondisi yang seperti saya sebutkan sebelumnya.
Mbak-mbak Rempong


Disini kita dapat menemui banyak monyet, berhati-hatilah. Katanya kalau air laut sedang surut, monyet ekor panjang akan memancing kepiting dengan ekor mereka, tapi kami tidak sempat menemukannya karena kami berkunjung di pantai ini saat siang hari. Aktivitas lain yang dapat dilakukan di pantai ini adalah snorkling, diving, dan berkano.
Salah satu Kursi Pantai Berhiaskan Batang Pohon

Pantai Bama
 
Pantai ini memiliki jembatan yang melewati hutan mangrove dan berakhir di satu sudut pantai. Menurut plang yang ada, mangrove di pantai ini merupakan yang terbesar se-Asia Tenggara. Dan seperti biasa, action bak foto model pun dimulai.
Jembatan yang Melewati Mangrove

Ujung dari Jembatan Mangrove

Sebenarnya di awal kami berencana membuka bekal yang dibawakan ibunya Amel dan makan di pantai Bama. Tapi sayang seribu kali sayang, di sana kan banyak monyet. Mana mungkin kami makan di sana. Pasti dikerubutin monyet. Gak jadi makan malah heboh gak karuan pastinya.

Akhirnya kami mampir berhenti di padang savana sekitar Bekol dan membuka bekal untuk makan. Hati-hati makan di sini, banyak monyet yang juga siap sedia melirik aktivitasmu. Untung kami dikawal pak Kamto driver sekaligus pawang monyet kami, hehehee... Oiya, kita tidak boleh membuang sampah dan memberi makan hewan liar ya. Itu adalah kode etik berada di rumah mereka.
Monyet yang Siap Siaga di Savana

Dan akhirnya tujuan akhir untuk hari itu adalah Savana Bekol. Saat SD dulu kita belajar mengenai apa itu sabana dan stepa. SAbana atau savana dalam bahasa Inggrisnya, adalah hamparan rumput yang dipenuhi semak dan ditumbuhi pepohonan yang tumbuh menyebar. Savana Bekol di TN Baluran ini memiliki luas sekitar 10.000 ha.
Savana Bekol
Hamparan Rumput di Savana Bekol

Savana ini merupakan habitat bagi kerbau liar, banteng, rusa, monyet dan beberapa unggas. Pepohonan tumbuh menyebar di savana ini dengan latar belakang gunung Baluran, menambah eksotika pemandangan di sini. Hamparan rumput yang terlihat mulai berwarna coklat karena saat ini sudah mulai memasuki musim kemarau membuatnya sudah semakin mendekati masa dimana TN ini terlihat sebagai Africa van Java.

Menatap Gunung Baluran (#eeaaa)

Evening in Savana Bekol, Baluran National Park

Persahabatan Bagai Kepompong...

Di Savana Bekol ini juga terdapat sebuah menara pengawas. Dari menara pengawas kita dapat melihat kondisi savana dari ketinggian. Yang tidak saya temukan saat berkunjung kali ini adalah merak. Padahal saya sangat berharap dapat mendokumentasikannya. Ternyata kami belum berjodoh. Jodoh saya masih sama si kebo tadi, karena kami bertemu sekitar 2-3 kali dengan rombongannya.
Pemandangan Savana dari Menara Pengawas

Heboh Dulu di Menara Pengawas
 
Matahari semakin condong, dan kami mulai meninggalkan TN Baluran menuju tujuan selanjutnya yaitu Bangsring. Esok paginya kami akan snorkling menikmati keindahan bawah laut Pulau Tabuhan.

Kami menginap di Bangsring dengan mendirikan tenda di pinggir pantai. Di sekitar lokasi ini juga banyak terdapat warung-warung makanan. Dari cerita yang saya dengar, Bangsring-Tabuhan ini dulunya merupakan lokasi yang mengkhawatirkan karena terjadi pengeboman ikan dan penangkapan ikan yang tidak selektif. Kemudian ada seorang pemuda yang membawa masalah ini ke ranah publik dengan tujuan ingin menyelamatkan dan mengadakan pemulihan lokasi salah satunya dengan penanaman terumbu. Setelah berhasil menggandeng beberapa instansi, maka dibukalah wisata di Bangsring dan Tabuhan dalam kerangka ZPB (Zona Perlindungan Bersama) yang dikelola oleh Kelompok Nelayan Bangsring.
Sunrise di Bangsring

Kebetulan untuk paket Bangsring-Tabuhan kami mengikuti paket dari salah satu orang kenalan, yaitu mas Hendra dan mas XYZ (gak tau namanya) yang asli Banyuwangi, dengan harga paket Rp 550.000 untuk 10 orang. Harga paket tersebut diluar harga sewa peralatan, yaitu harga sewa google+snorkel adalah Rp 25.000, life jacket Rp 10.000 dan kamera underwater Rp 150.000. Tujuan kami menggunakan jasa paket ini adalah yang pertama supaya memudahkan, karena kami semua awam dengan lokasi dan kebetulan trip kali ini dengan mbak-mbak rempong semua daripada pusing pala barbie; yang kedua supaya sekalian ada yang mendampingi karena kebetulan teman-teman saya semua baru pertama kali ini snorkling, sedangkan saya bukan tipe yang bisa menjaga orang lain, buat nyelam sendiri aja susah.

Jadwal kami menuju Pulau Tabuhan yang direncanakan berangkat pukul 6 pagi molor hampir 1 jam karena si mas-mas ini ngaret, katanya kehabisan bensin di jalan. Dan kami pun mulai menaiki kapal melaju menuju Pulau Tabuhan. Jarak tempuh ke lokasi snorkling dekat Pulau Tabuhan adalah sekitar 20 menit. 
Pulau Tabuhan dari Kejauhan
 
Mendekati pulau ini keindahan pulau mulai terlihat, dengan air yang berwarna hijau kebiruan, pasir putih pulau serta tubir yang terlihat dengan jelas. Kapal berhenti, dan kami mulai turun ke laut satu persatu untuk menikmati keindahan bawah laut di sekitar pulau Tabuhan ini.
  
Snorkling Perdana Teman-Teman
 
Kalau saya gambarkan di lokasi pertama tempat kami snorkling terdapat cukup banyak ikan-ikan karang dengan berbagai warna yang melintas dan bermain di sekitar karang. Selain itu juga terlihat bintang laut biru (linckia) diantara karang-karang ini. Cukup indah, sayang tidak terdokumentasi karena kamera dipegang oleh mas Hendra yang sedang ribet dengan teman-teman saya yang panik karena baru pertama kali snorkling. Terumbu karang juga cukup berwarna walaupun tutupannya tidak terlalu banyak. Dari yang saya lihat lebih banyak tutupan karang mati dan beberapa terumbu karang baru yang mulai tumbuh.

Awak kapal mengajak kami naik untuk berpindah ke lokasi lain. Saya baru menyadari kesalahan saya hari itu. Hari itu saya menggunakan celana Bali yang longgar, bukannya menggunakan celana renang yang ketat. Walhasil... ketika sedang duduk ngobrol dengan Amel di buritan kapal, tiba-tiba... “krek”. Celana itu robek. Saya acuhkan karena hanya sedikit robek di bagian tengah. 
Ketika Celana Masih Baik-Baik Saja

Kami melanjutkan snorkling di lokasi kedua. Di sini ombak terasa sangat kencang. Tidak jauh berbeda dengan lokasi pertama, namun saya melihat ikan di lokasi ini agak sedikit, namun terumbu karangnya sedikit lebih berwarna. Dan salah satu awak mendokumentasikannya ketika saya memintanya. Maklum kan saya gak bisa free dive.  
Beberapa Biota di Dasar Perairan

Ketika snorkling, saya merasa celana saya semakin lama semakin lebar robeknya. Mungkin karena saya terlalu heboh berenang melawan arus. Saya biarkan dengan beberapa kali saya pegangi. Namun lama-kelamaan sepertinya kondisi celana ini sudah tidak bisa tertolong lagi karena dia sudah tidak berupa celana lagi namun hanya berupa kain robek bak gembel pinggir jalan. Saya pun melipir menghampiri Amel yang sedang mengintil mas XYZ, dan memberikan kode untuk melihat bawah, tidak lama kemudian tawanya pecah, girang bukan kepalang dia mengetahui kondisi saya. Dasar nih Amel. Saya langsung bertanya pada mas XYZ, “Mas, punya serep celana gak? Robek nih celana saya” yang disambut gelak tawa.

Beruntungnya saya, karena mas Hendra ketika berangkat memakai celana panjang, dan itu akhirnya dipinjamkan pada saya. Walaupun kancingnya lepas. Seperti bisa ditebak kemudian, saya menggunakan celana mas Hendra yang besar dengan kancing atas yang lepas, yaitu sering melorot. Gak papa lah dari pada pake celana compang-camping.

Kapal berhenti di Pulau Tabuhan dan saatnya mengeksplore pulau ini. Pulau Tabuhan luasnya hanya sekitar 5 ha. Ini merupakan pulau tak berpenghuni. Namun di sini terlihat banyak sekali sampah berserakan bekas dari para pengunjung. Beginilah orang Indonesia, tidak pandai menjaga lingkungannya. Sangat memalukan!

Kami sempat beristirahat sebentar karena Prima ternyata mabok. Dan dengan celana kedodoran plus kebasahan, saya dari posisi berdiri langsung duduk tiba-tiba terdengan suara kencang “breet..”, OMG itu suara udara dari celana saya, bukan kentut kok. Hancur harga diri saya di depan dua orang mas-mas ini. Ini pembunuhan karakter! Hahahahaa...

Sebenarnya pulau ini cukup cantik. Dengan hamparan pasir putih, view gunung, dan lautan yang mengelilingi. Namun seperti yang saya sebutkan sebelumnya, sampah akan membuatmu menjadi illfeel. Plis dong wisatawan, kedatanganmu itu bukan untuk merusak tapi menikmati keindahaan yang sudah diciptakan Tuhan dan menjaganya.
Tanaman Bulu Babi

Bekas Benteng Pertahanan Jepang

Pasir Putih yang Mengelilingi Pulau Tabuhan

View Gunung yang Terlihat dari Pulau Tabuhan (Entah Gunung Apa)
 
Kapal penjemput kami datang menghampiri dan kami melaju ke tempat selanjutnya yaitu Rumah Apung. Dalam perjalanan ombak yang kami lalui semakin besar. Karena saya, Amel dan Prima duduk di lambung kapal, kami terciprat air laut yang diterjang oleh kapal. Seperti menggunakan nano spray rasanya, tapi lama-kelamaan masuk mata dan perih. Saya mengambil sebuah botol minuman dan mengguyur muka untuk menetralisir rasa pedih di mata. Kemudian mas XYZ berucap “Mbak, bukannya itu isinya P*cari ya?” Jreng jreng jreng... pantes gak ada perubahan. Hancur gulung tikar bener harga diri saya.

Tiba di rumah apung, saya melihat siutuasi yang sangat crowded. Weleh... rame bener. Rumah apung ini semacam keramba yang terbuat dari bahan seperti fiber (atau memang fiber ya?). Terdapat 8 keramba di dalamnya 4 keramba di samping kiri rumah dan 4 keramba di samping kanan rumah. Rumah di sini bukan benar-benar rumah, hanya tempat-tempat peristirahatan untuk meletakkan barang bawaan.
Rumah-rumahan Tempat Meletakkan Barang Bawaan
 
Di dalam salah satu keramba diletakkan beberapa ekor anak hiu dan ikan-ikan hias. Kita bisa berenang di dalamnya bersama mereka. Namun ketika saya mendekati keramba itu, saya langsung berteriak karena salah satu pengunjung mengambil anak hiu dan mengeluarkannya dari air untuk ditunjukkan pada anaknya, si anak juga jerit-jerit ketakutan, si hiu sampai menggelepar-gelepar berontak. Pengen saya tepok jidatnya tuh orang. Kan kasian hiunya. Plis ya pak, itu bukan berani namanya, itu penyiksaan terhadap hewan. Kalau bapak merasa berani, sana berenang ke laut lepas cari emaknya hiu, trus pegang dan keluarkan dari air, trus tunjukkin sama anak bapak. Jadi emosi sendiri saya kalau inget perbuatan si bapak itu.
  
Baby Shark di Penangkaran Rumah Apung Bangsring
 
Menurut saya pribadi, sepertinya penangkaran hiu ini agak berlebihan. Kasian juga anak-anak hiu itu, mereka bisa stres, kalau stres nanti mati. Dan kalau memang mau dilanjutkan penangkaran hiu seperti itu, sepertinya keramba harus diperluas dan pengunjung harus diawasi agar tidak memegang apalagi mengeluarkan ikan dari air. Just suggest!

Saya sempat snorkling di sekitar keramba, pemandangan yang bagus hanya terlihat di sekitar keramba yaitu banyaknya ikan yang berkumpul. Sedangkan agak jauh sedikit dari keramba visibilitas air sangat keruh. Tidak bisa melihat dasar perairan dengan jelas. Lebih menarik di sekitar Pulau Tabuhan.
Kumpulan Ikan di Sekitar Keramba
Niken yang Dikelilingi Ikan di Sekitar Keramba
Air yang Sangat Keruh, Terumbu Tidak Terlihat Jelas
 
Waktu sudaj lewat tengah hari. Kami bergegas kembali ke Bangsring, mandi, makan dan pulang. Saya merasa sangat puas karena walaupun tidak benar-benar mendampingi teman-teman, setidaknya saya sudah mengenalkan laut dan secuil isinya pada mereka. Dan alhamdulillah Amel yang tadinya agak takut sama air (kayak embek aja), sudah bisa menikmati berenang dan snorkling di laut. See you on next trip gaes...

Kamis, 14 Mei 2015

One Day Trip Lumajang yang Mendebarkan Hati


Perjalanan ini awalnya dibuat karena Icha dan Dita adiknya sedang ada acara kondangan di Lumajang. Jadilah saya mengajak Amel, Niken dan Deni untuk jalan-jalan di sekitaran Lumajang.


Ada beberapa lokasi tujuan yang direncanakan untuk kami kunjungi di Lumajang. Lokasi tujuan utama adalah Puncak B-29 yang saat ini sedang booming dibicarakan. Kami sempat mendapat beberapa foto orang-orang yang pernah kesana dan sepertinya sangat menggiurkan. Tujuan kedua adalah air terjun, kami tidak terlalu memilih air terjunnya, yang penting searah dan teman Icha menyarankan untuk mengunjungi Air Terjun Kembar di daerah Senduro. Tujuan ketiga adalah Ranu Klakah dan Ranu Pakis yang letaknya bersebelahan dan tidak jauh dari Terminal Minak Koncar-Lumajang. Jadi niatnya dalam satu hari trip ini kami bisa mendapatkan beberapa lokasi wisata berbeda.

Karena tujuan utama kami adalah melihat sunrise di B-29, kami pun berangkat dini hari. Dari Jember kami tidak melewati Lumajang kota, kami langsung menuju Senduro. Dari Senduro tinggal mencari Pura Mandara Giri Agung, nah dari setelah itu tingal lurus terus dan sudah ada plang-plang yang menunjukkan arah ke B-29. Sehingga tidak sulit untuk ditemukan.

Untuk yang belum tahu, B-29 yang kami maksud bukanlah merk dari salah satu deterjen.  B-29 merupakan puncak tertinggi dari lautan pasir Bromo dengan ketinggian 2.900 mdpl. Saat fajar menjelang awan tebal akan terlihat sangat dekat dari Puncak B-29 karena itu lokasi ini disebut sebagai negeri di atas awan. Dari Puncak B-29 kita dapat melihat keindahan Gunung Bromo, Gunung Semeru dan Gunung Lemongan.

Menuju tempat parkir B-29 kita akan melewati jalan yang semakin lama semakin menanjak. Mobil di depan kami sempat agak susah untuk menanjak. Karena jalanan tidak terlalu lebar, driver kami memutuskan untuk berhenti sejenak dan minggir untuk menghindari mobil di depan kami kalau tiba-tiba mundur. Udara dingin sudah mulai terasa, rasanya seperti malam-malam buka kulkas trus ngadem, padahal udara malam saja sudah dingin.

Dan tibalah kami di suatu lokasi yang banyak sekali tukang ojegnya. Mereka ribut sekali mengelilingi mobil kami dengan sedikit memaksa agar kami naik ojeg. Kami memutuskan terus berjalan hingga melewati Gapura Desa Argosari dan parkir di sana. Dan para tukang ojeg pun mengikuti kami layaknya para fans mengikuti artis idamannya.

Jam 3 pagi kami diserbu para tukang ojeg yang menawarkan untuk naik ke Puncak B-29. Appaaah? Naik ojeg?? Dimana jiwa petualangnya??? Dan kami memutuskan naik ojeg karena memang sudah direncanakan demikian, dengan alasan waktu kami yang mepet untuk mengejar sunrise dan banyaknya lokasi lain yang harus dikunjungi dalam 1 hari.

Hasil tawar-menawar untuk perjalanan dari Gapura menuju Puncak B-29 pulang pergi adalah Rp 80.000/orang. Cukup mahal memang, tapi karena teman-teman yang pernah ke sana mengatakan harga ojeg pp berkisar antara Rp 60.000-100.000 ya sudahlah kami akhirnya yes aja. Kalau mas Anang?

Perjalanan yang semakin dingin pun dimulai. Saya diantar oleh salah satu abang ojeg yang mengendarai Mega Pro. Menurut si abang jarak tempuh menuju Puncak B-29 adalah 8 km. Yang mulai membuat jantung berdebar kencang bukanlah si abang ojeg, tapi jalanannya yang wow ajegile. Jalanan tanah dengan sangat sedikit bebatuan atau pun semen, ditambah hujan yang turun sejak sore hari, dan dibumbui dengan abang ojeg yang off road minggir-minggir di tepi jalan dengan sawah di bawahnya yang sangat terjal, mungkin kelerengannya antara 45-60o. Sebenernya saya pengen bilang sama abangnya “Pelan-pelan bang, saya belom kawin”, tapi saya takut abangnya keGe-eRan dan malah minta diajak kawin. Ya sudahlah saya ajak ngobrol saja abangnya, biar sok akrab dan saya gak diculik.

Kami sempat berjalan kaki saat si abang-abang ojeg kesulitan untuk melewati jalanan tanah becek itu. Icha sempat jatuh terpeleset dan lensa kacamatanya copot dari framenya, saya gak mau kalah, ikutan jatuh, ketika abangnya salah menahan motor di salah satu belokan yang memang licin. 

Saya yang takut terjadi hal-hal tidak diinginkan di Puncak B-29 meminta abangnya untuk berhenti di toilet Masjid sebentar. Untuk mengeluarkan panggilan alam. Di Masjid ini kami melihat banyak sekali para pendaki yang sedang beristirahat.

Perjalanan dilanjutkan, dan tidak jauh dari masjid, ada portal untuk penarikan retribusi masuk ke Puncak B-29, seharga Rp 3.000/orang. Murah sekali sodara... Dan di sini kami juga melihat polisi yang berjaga. Usut punya usut saya mendapat kabar bahwa di Puncak B-29 banyak ditemukan kondom berserakan sehingga sangat mengganggu para pengunjung. Berita selengkapnya http://www.tempo.co/read/news/2015/04/29/058662009/Dipakai-Kemah-Pelancong-Kondom-Berserak-di-Puncak-Bromo. Menyedihkan sekali muda-mudi perusak di muka bumi yang tidak bisa menjaga lingkungan ini.

Abang ojeg akhirnya menurunkan kami di pemberhentian terakhir. Sebuah lokasi yang banyak terdapat tukang jualan p*p mie dan minuman serta dilengkapi dengan kursi dari batang pohon. Hanya tinggal berjalan dengan sedikit menanjak sekitar 300 m, dan di Puncak B-29 ada di depan mata. Dan di depan mata kami gelap gulita. Sebenarnya ketika berangkat Amel membawa 3 buah senter. Tapi akibat kami riweuh dengan kehebohan si abang-abang ojeg, semua senter itu ketinggalan di mobil. Good job!
 Hanya Sependar Sinar Bulan ini yang Menerangi Kami

Kami duduk sambil memandangi bulan yang semakin tenggelam di sebelah barat yang menghadap ke arah Gunung Bromo. Jam tangan saya menunjukkan pukul 03.40 WIB. Masih cukup lama hingga fajar mulai menampakkan dirinya. Emang lo udah sampe mana, Jar? Kok lama bener sih.

Dan Amel mengeluarkan senjata pamungkas, yaitu bekal berupa ayam goreng krispy yang tidak lagi krispy plus anyep akibat cuaca dingin. Namun kami tetap bersemangat menikmati sambil memandang bintang-bintang yang bertebaran di atas langit.

Duduk sambil makan ternyata tidak mengurangi rasa dingin yang menyerang. Mau nebeng api unggun tapi malu. Kami hanya bisa memandangi orang-orang yang menyalakan api unggun agar mereka sadar kode dari kami. Bahwa kami kedinginan. Butuh kehangatan. Yang belum kami dapatkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Opo iki, kok ambigu???

Alhamdulillah salah satu bapak-bapak menawari kami untuk ikut bergabung dalam api unggunnya. Terima kasih bapak beserta serombongan keluarganya. Semoga kebaikanmu dibalas kebaikan lainnya.

Ketika di ufuk timur mulai terlihat secercah cahaya, kami pun berpamitan pada keluarga besar si Bapak. Dan langsung ngacir mencari lokasi yang tepat untuk mendokumentasikannya. Awan di depan kami benar-benar menunjukkan bahwa kami sedang berpijak pada negeri di atas awan. Yeaah!

Fajar yang Mulai Menampakkan Secercah Cahaya
 
Negeri di Atas Awan (Sayang Kameranya Pas-pasan)

Unfortunately... Matahari tidak mau bersinar terang. Kabut tebal datang menghampiri. Sesosok gunung Lemongan di sebelah timur yang sempat kami lihat sebelumnya, sesosok Gunung Semeru di tenggara dan sesosok Gunung Bromo, semuanya lenyap tertutup kabut. Kami pun menunggu... 5 menit... 10 menit... 15 menit... Tidak terjadi perubahan.
Kabut Tebal yang Menyelimuti Puncak B-29

Karena capek menunggu kami akhirnya turun dulu ke bawah untuk makan sambil berharap kabut segera berlalu dan pemandangan indah segera tersaji. Makan sambil numpang menghangatkan diri di perapian ibu pemilik warung. Setengah jam berlalu, dan akhirnya kabut mulai menyingkir. Kami bergegas membayar semua makanan kami. 
Makan Mie Sambil Menghangatkan Diri
(Maka Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan)
 
Warung-Warung Menuju Puncak B-29



Dan begitu keluar dari warung, pemandangan indah dari Gunung Bromo sudah tersaji di depan kami. How beautiful it is! Gunung Bromo yang terletak pada ketinggian 2.392 mdpl ini berdiri dengan indah dihiasi asap yang berasal dari kawahnya. Hamparan lautan pasir yang luas memberi goresan indah pemandangan. 

Bromo In The Morning
 
Sebenarnya bisa saja kita langsung menuju Gunung Bromo yang sudah tersaji di depan mata ini. Bagaimana caranya? Terjun saja ke bawah, maka sampailah di lautan pasir Gunung Bromo. Tapi karena saya masih waras dan bukan pecinta X-Games dan belom kawin pulak, saya tidak berusaha untuk mencobanya.
Foto Keluarga dengan View Bromo

Saat kembali menaiki Puncak B-29, pemandangan Gunung Semeru juga mulai terlihat. Dengan diselimuti awan, Gunung Semeru yang memiliki ketinggian 3.676 mdpl terlihat indah pagi hari itu. Sayangnya view Gunung Semeru terlihat sangat jauh, walaupun kami sudah berpindah-pindah spot beberapa kali.
Undakan Menuju Puncak B-29 yang Akhirnya Terlihat

 Pinjem Bunga Abadi Jualan Bapak-Bapak

 

Gunung Semeru Nun Jauh

Dari Puncak B-29 juga terlihat Gunung Lemongan/Lamongan yang merupakan bagian dari Pegunungan Iyang-Argopuro di sebelah timur. Gunung dengan tinggi 1.651 mdpl ini terlihat paling jauh diantara dua gunung yang saya sebutkan sebelumnya, karena lokasinya memang berada di Lumajang bagian timur, cukup jauh dari lokasi Puncak B-29.
Gunung Lemongan Tampak dari Kejauhan
 
Narsis Doeloe
 
Ilalang tinggi yang terdapat di Puncak B-29 juga menjadi salah satu spot kami untuk berfoto. Dengan berbagai macam gaya, kami yang berfoto layaknya foto model. Dengan berbagai macam kamuflase, kami sok-sokan sedang berada si Sumba.
Ilalang Bak di Sumba
Ini Indonesiaku (Bendera Dapet Minjem)
Puncak Pendakian Kami (Gaya Selangit Padahal Ngojeg)
Perhatikan Properti yang Sama dari Ketiga Model
Duh... Jaga Kebersihan Dong, Bang
 
Waktu menunjukkan jam 08.30 ketika kami memutuskan untuk turun karena masih ada beberapa lokasi yang kami rencanakan untuk dikunjungi. Dalam perjalanan mesra turun Puncak B-29 bersama si abang ojeg saya baru paham kondisi jalanan sebenarnya yang kami lalui. Sawah terjal dengan kelerengan sangat miring yang saya ceritakan sebelumnya ternyata ditanami bawang pre yang sangat subur. Rasanya tukang martabak akan sangat senang melihatnya. Saya sempat minta si abang ojeg berhenti di dekat portal karena pemandangan Gunung Semeru terlihat sangat gagah dari sini.
Hello Semeru!
 
Hamparan Bawang Pre
 
Usai berfoto di Gapura Desa Argosari, kami melaju melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan kami sempat berfoto karena Pemandangan Gunung Semeru terlihat begitu menggoda bagai melambai-lambai pada kami mengajak selfie bareng. Groufie deh.
 Gapura Desa Argosari
With Semeru (far far away)
Bunga Matahari di Kanan-Kiri Jalan Menuju Puncak B-29
Semeru Mengeluarkan Asap di Puncaknya Ketika Kami akan Meninggalkan Argosari

Tujuan kedua kami adalah Air Terjun Kembar, yang menurut Erza, teman Icha lokasinya tidak jauh dari pertigaan pasar Senduro masuk sedikit. Namun ketika kami bertanya pada penduduk sekitar banyak yang tidak mengetahui lokasi yang dimaksud. Sampai saya tertidur di dalam mobil dan terbangun lagi mungkin sekitar setengah jam, ternyata kami belum juga sampai lokasi yang dimaksud. Walhasil masuklah rombongan kami ke dalam desa dan semakin desa atas petunjuk orang-orang yang mengarahkan kami ke air terjun. Mobil pun harus diparkir karena medan jalan yang tidak memungkinkan untuk dilaluinya. Dan kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
 Jalan Setapak yang Kami Lalui (Tetep Bawa Cemilan)

Kami berada sangat jauh dari air terjun tujuan kami. Dan berdasarkan petunjuk alam yang kami lihat, air terjun yang kami eksplor siang itu berada di lereng Semeru. Bahkan setelah kami mulai berjalan ada jalan pecah yaitu lurus menuju air terjun dan belok kiri menuju Ranu Pane. Fix nyasar jauh!

Karena sudah kepalang tanggung, kami pun tetap melanjutkan berjalan kaki. Setapak-demi setapak kami lalui, dan dengan seenaknya sepeda motor berlalu lalang di jalan yang kecil dan berbatu itu mendahului kami. Ingin sebenarnya saya berteriak “Abang... Nebeng dong!!”. Sayangnya mereka semua berpasangan, dan saya tidak ingin menjadi orang ketiga. 
Sepanjang Jalan Kami Bertemu Ibu-Ibu yang Pulang Ngramban 
(Mencari Rumput dan Tanaman untuk Ternak) 

Sebenarnya jalanan tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 3-4 km dengan jalanan berbatu tapi tidak terlalu sulit dilewati. Namun mungkin saya keburu boring saat perjalanan menuju air terjun ini sehingga perjalanan berangkat itu terasa begitu jauh. Sepanjang jalan kami melewati kebun kopi dan hutan bambu serta aliran air sungai dari air terjun.
 Aliran dari Air Terjun
Dita & Coffee

Sekitar setengah jam berjalan kaki, sampailah kami di loket tiket masuk. Untuk masuk lokasi ini dikenakan biaya Rp 3.000/orang. Dan di sinilah kami baru tau bahwa air terjun yang kami temui bernama Watu Lapis. Air terjun ini baru diresmikan sebagai tempat wisata pada bulan Mei 2013 oleh Bupati Lumajang.
 Pintu Masuk Air Terjun Watu Lapis yang Seadanya

Dari tempat membayar tiket, hanya perlu berjalan kaki sekitar 300 m, dan tampaklah si air terjun Watu Lapis nan mempesona. Air terjun ini menurut beberapa orang memiliki ketinggian 30 m. Air yang jatuh terasa dingin menyegarkan, pemandangan hijau dari tanaman-tanaman yang asri juga memperindah suasana di sana. 
This Is It, Watu Lapis Waterfall

Sebenarnya kami sudah membawa baju ganti. Apalah daya cuaca mendung dan tidak ada kamar bilas disini. Lokasinya memang masih sangat alami. Hanya terdapat beberapa tempat untuk duduk yang banyak digunakan orang untuk menyimpan tas. Belum ada toilet. Dan penjual hanya 1 orang.
Taman yang Ditambahkan Oleh Penduduk untuk Menikmati Air Terjun
 
Tempat dari Kayu yang Digunakan Wisatawan untuk Menyimpan Barang Bawaan
 
Cuaca semakin mendung dan gerimis mengundang. Ketika rintik-rintik hujan mulai membasahi kawasan air terjun ini, kami segera beranjak meninggalkan lokasi untuk menghindari terjebak dalam hujan di dalam hutan. 
Agenda Rutin tiap Lokasi
 
Perjalanan kami belum berakhir begitu saja. Setelah makan siang yang terlambat, kami melanjutkan perjalanan menuju Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Kedua ranu ini letaknya berdekatan dan terletak tidak jauh dari jalan utama yang menghubungkan Jember-Lumajang-Probolinggo. Akses untuk menuju 2 ranu ini sangat mudah.

Kami mengunjungi Ranu Klakah terlebih dahulu. Untuk masuk Ranu Klakah tiket masuk per orang adalah Rp 3.000/orang, mobil juga Rp 3.000, jadi dia dianggap transformer. Di Ranu Klakah juga terdapat taman bermain, tapi tidak kami kunjungi karena terlalu mainstream. Bagi yang belum paham apa itu ranu, ranu adalah sebutan danau untuk di daerah Jawa. Di Lumajang terdapat 5 ranu, yaitu : Ranu Klakah, Ranu Pakis dan Ranu Bedali yang terletak di kaki gunung Lamongan dan biasa disebut segitiga ranu di Lumajang; serta Ranu Pane dan Ranu Kumbolo yang terletak di kaki gunung Semeru.
Pintu Masuk Ranu Klakah
 
Ranu Klakah yang kami kunjungi adalah danau yang dimanfaatkan untuk menangkap dan membudidayakan ikan. Ada beberapa penjual ikan maupun warung ikan bakar di sekitarnya. Selain itu di danau ini juga disediakan sepeda air bebek-bebekan yang bisa disewa untuk berkeliling danau.
 
 Ranu Klakah & Keramba
Sang Penjala Ikan

Kami pun melanjutkan ke lokasi terakhir hari itu yaitu Ranu Pakis. Ranu Pakis letaknya berdampingan dengan Ranu Klakah. Harga tiket masuknya lebih murah yaitu Rp 2.000/orang. Berbeda dengan Ranu Klakah yang memang sudah disulap menjadi lokasi wisata, Ranu Pakis terlihat lebih alami. Dari arah pintu masuk terlihat bahwa Ranu Pakis terletak di bawah, sehingga kita bisa mendokumentasikannya dari ketinggian.
Ranu Pakis di Ketinggian
Welcome to Ranu Pakis
 
Di Ranu Pakis ini banyak penduduk dengan kegiatan sehari-harinya yang memanfaatkan danau ini. Ada bapak-bapak lagi mandi, ibu-ibu lagi mandi, anak-anak lagi mandi, dan tiba-tiba Deni hilang dari rombongan kami untuk beberapa waktu. Agak mencurigakan! Hahahhaa... ampun Den, iya iya lagi sholat kok.
Nunggu Deni yang Tiba-Tiba Menghilang
 
Tidak berbeda jauh dengan Ranu Klakah, Ranu Pakis juga dimanfaatkan untuk menangkap dan membudidayakan ikan oleh penduduk sekitar. Dengan luas 112 Ha, ranu ini dikelola oleh DPU Pengairan Propinsi Jawa Timur. Di Ranu Pakis ada persewaan getek (bambu yang disusun hingga bisa digunakan untuk transportasi di air), harga sewa getek ini hanya Rp 5.000. Hanya saja tiap getek hanya bisa dipergunakan 1 orang. Lha kami cara naiknya saja nggak bisa, tar malah kejungkal sayang barang bawaan. Akhirnya kami memutuskan sewa perahu fiber saja. Harga sewanya cukup murah yaitu hanya Rp 30.000 dan bisa diisi hingga 8 orang. Perahu ini membawa kami berkeliling danau, menikmati setiap sudut sambil menunggu sunset.
Deni yang Malu-Malu Mau Dikelilingi Gadis-Gadis Cantik
 Berpapasan dengan Bapak Pengguna Getek yang sedang Memancing Ikan
Senja Menjelang di Ranu Pakis
See You Sunset

 Walaupun melelahkan, namun hari itu berlangsung dengan menyenangkan. Dan semua lokasi tujuan wisata yang kami rencanakan dapat dilalui dan dinikmati. Terima kasih Lumajang...