Setelah hampir 2 bulan di rumah menemani
ayah, akhirnya saya nemu teman buat diajak maen. Kali ini saya pergi bersama
teman SMA dulu, namanya Amel. Kebetulan hari Minggu itu dia berniat jalan-jalan
dengan teman kerjanya : Siska lengkap dengan suami dan anaknya, Niken, Fifi dan Deni. Saya pun menyempil ikut diantara grup
mereka. Hehehehee...
Kami tiba di lokasi sekitar jam 9
pagi. Yang membuat jengah di tempat wisata ini adalah kondisi lokasi
parkir. Tukang parkirnya heboh banget kayak ngajak ribut nyuruh kita parkir di
tempat dia. Banyak banget lokasi parkir yang bertebaran, kami memilih lokasi
parkir paling ujung agar lebih dekat berjalan kaki ke arah pantai dan bukit.
Dari lokasi parkir, laut memang tidak
langsung terlihat, masih harus berjalan kaki dulu sekitar 500m, baru
terlihat deh pantainya. Kami seperti melewati gurun pasir, pasir menuju pantainya panas banget, mungkin ini yang bisa dipakai buat goreng kerupuk pasir. Dan sepanjang jalan menuju pantai banyak terdapat tanaman rumput
yang menyerupai bulu babi.
Pantai Payangan memang tidak seramai pantai
PaPuMa, jadi terlihat lebih menenangkan. Tapi kalau ombaknya ya jangan tanya,
ini kan pantai selatan, pastinya ombaknya lumayan besar.
Sebenarnya pantainya
biasa saja sih dengan pasir berwarna hitam, yang membuatnya menarik ada satu
pulau kecil yang terlihat dari pantai ini, selain itu juga berjajar bebatuan
mengelilingi pantai. Ketika kami berada di pantai terdengar sirine, sepertinya melarang para pengunjung untuk berenang, karena informasi yang disampaikan tidak terdengar dengan jelas.
Shan Cai versi Syariah
Plis mbak Amel... Galau Boleh, tapi Jangan Terjun ya
Nah di sekitar pantai ini ada beberapa bukit.
Kami hanya sempat naik satu bukit saja yaitu Bukit Sambuja, alasan pertama
karena ada anak kecil, alasan kedua kami aja sih yang
gak kuat nanjak.
Di bukit Sambuja ini terdapat sebuah makam, yaitu makam Mbah Sambojo. Agak bingung juga saya siapa dia sebenarnya, ketika saya tanya pada penjaganya jawabannya berbelit-belit (mbulet kalo bahasa Jawa-nya). Dari yang saya tangkap, mbah Sambojo ini sepertinya sih semacam ‘orang pintar’ gitu. Yang bikin saya mikir, kenapa kok iseng banget dimakamkan di bukit? Apa gak kasihan sama yang bawa jenazah naik bukit yang lumayan terjal begitu? Yo wes ben lah, yang penting saya naik aja ke bukit.
Di bukit Sambuja ini terdapat sebuah makam, yaitu makam Mbah Sambojo. Agak bingung juga saya siapa dia sebenarnya, ketika saya tanya pada penjaganya jawabannya berbelit-belit (mbulet kalo bahasa Jawa-nya). Dari yang saya tangkap, mbah Sambojo ini sepertinya sih semacam ‘orang pintar’ gitu. Yang bikin saya mikir, kenapa kok iseng banget dimakamkan di bukit? Apa gak kasihan sama yang bawa jenazah naik bukit yang lumayan terjal begitu? Yo wes ben lah, yang penting saya naik aja ke bukit.
Ketika akan naik bukit ada tulisan
yang mengharuskan kita membaca Ayat Kursi. Lha tapi saya gak apal, om. Kumaha
ieu? Dan kejadian kontrasnya adalah, si penjaga malah nyalain lagu-lagu Campur
Sari dan Koplo dengan kenceng. Baca Ayat Kursi diiringi lagu Sahara???
Hadeeh...
Dari atas bukit Sambuja inilah baru
pemandangan indah mulai terlihat. Ternyata ada beberapa daratan timbul di air
laut (saya tidak bisa memastikan apakah ini adalah pulau), yang berjajar dengan
indahnya. Kalau kata teman-teman Amel ‘anggap saja Raja Ampat’. Heheheheee...
Banyak muda-mudi yang naik ke bukit
ini, ada yang pacaran (gak usah envy deh), ada yang datang bersama gengnya
sambil bawa gitar, ada yang bergaya bak foto model, ada yang bermalas-malasan
seperti kami duduk-duduk di bawah pohon sambil ngobrol gak jelas.
Ketika kami perhatikan, beberapa dari pengunjung naik bukit menggunakan helm. Mungkin supaya aman kali yah dan gak ditilang pak Polisi, atau biar gak ketauan kalau lagi selingkuh? Entahlah, gitu aja kok dibikin pusing sih, Tin...
Ketika kami perhatikan, beberapa dari pengunjung naik bukit menggunakan helm. Mungkin supaya aman kali yah dan gak ditilang pak Polisi, atau biar gak ketauan kalau lagi selingkuh? Entahlah, gitu aja kok dibikin pusing sih, Tin...
Oiya, kalian harus berhati-hati kalau
naik ke atas bukit. Saya sempat tertancap ranting kecil hingga berdarah dan
pada turunan agak curam saya terpeleset dengan indahnya. Sakit sih gak seberapa tapi diliatin orang-orang itu kan malesin. Untungnya saya gak malu, kan urat malunya udah kiwir-kiwir hampir putus (bahasa opo iki?).
Setelah menuruni bukit, kami
melanjutkan berjalan-jalan di sekitar bukit Sambuja. Di sebelah barat bukit
Sambuja terlihat jajaran bebatuan pantai yang memecah ombak.
Sayangnya tidak ada momen yang tertangkap kamera.
Dari bebatuan ini, batu
tinggi di pantai PaPuMa yang merupakan ikonnya juga terlihat walaupun
sangat jauh.
Gugusan Batu di Barat Pantai Payangan dan Bukit Sambuja
Begitulah wisata singkat di hari
Minggu ceria itu. Saya sempat mampir ke rumah Amel untuk sekedar absen sama
rumahnya dan segera pulang. Karena seperti biasa... ayah saya bolak-balik
menelpon, khawatir sama anaknya yang cantik. Halaah...