Translate

Kamis, 29 Januari 2015

Maumere... Fajar di Timur Indonesia

Fajar di timur Indonesia, hingga saat ini Maumere adalah daerah paling timur Indonesia yang pernah saya kunjungi. 

Sebenarnya dari beberapa minggu sebelumnya, saya sudah dikabari bahwa akan diberi tugas untuk survei di Kupang. Saya dijadwalkan berangkat berdua dengan Pak Sugeng salah satu dosen saya. Sore hari sebelum hari keberangkatan, kami para tim survei dibriefing, sekaligus pembagian tiket dan surat dinas. Hasil yang saya terima sangat menakjubkan. Lokasi saya dipindah ke Maumere dan karena biaya perjalanan ke Maumere paling mahal maka hanya satu orang yang diberangkatkan. Karena pak Sugeng sedang banyak urusan, maka saya yang harus jalan sendiri kesana. Antara senang dan bengong saya menerima tiket hari itu.

Maumere? Sendirian? Dan tidak ada link di lokasi. Mantap! Seandainya tujuannya adalah Kupang, walaupun berangkat sendirian saya tidak akan khawatir, karena dosen di kampus punya banyak link di Kupang. Tapi Maumere? Saya sudah tanya kesana kemari gak ada yang punya kenalan di sana. Oke baiklah. Usaha sendiri harus dimulai. Oiya, sekedar informasi, Maumere adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Sikka, di Pulau Flores, NTT.

Ketika saya menerima tiket pesawat hari sudah sore sekitar jam 5, dan saya harus berangkat ke bandara jam 3 pagi dari rumah. Mengandalkan keberuntungan saya mulai browsing dimana letak Maumere dan lokasi terdekat, mungkin saya ada kenalan di sekitar sana. Tiba-tiba saya teringat om saya (saya tidak tau pasti hubungannya dengan ayah bagaimana, karena termasuk saudara jauh dari Taliwang, tapi yang jelas saya memanggilnya om). Namanya om Jahidin, dulu pernah bertugas di Jember dalam waktu lama ketika saya masih SMP, sampai akhirnya menikah dengan mbak Indri yang saat itu menjadi guru di Jember. Seingat saya om Jahidin ini bertugas di Ende, NTT. Segera saya menghubunginya. Tidak tersambung. Akhirnya saya meninggalkan sms, mungkin saya beruntung dan om Din bisa mengubungi saya. Saya pun pasrah, sambil berpikir "Ya sudahlah, besok minta pendampingan dari orang Dinas setempat saja."

Menjelang tengah malam, om Din balik menghubungi saya. Dan mengatakan tadi sedang tugas di pelosok desa jadi tidak ada sinyal. Dan ternyata om Din tidak tinggal di Ende, tapi di Lembata. Itu jauhh... masih kudu nyebrang pulau. Tapi om Din yang selalu khawatir dengan keponakannya yang cantik ini akhirnya sibuk sendiri mencarikan kenalannya di Maumere yang bisa menemani selama saya berada disana. Pagi harinya om Din menghubungi bahwa nanti akan ada seorang kenalannya yang akan menjemput saya di bandara, yang bernama Bolly. Setelah saya mau pulang saya baru tau bahwa ternyata namanya namanya Billy. Om...om... Saya jadi ikutan manggil Bolly. Hahhahahaha.

Saya pergi menuju Maumere dengan pesawat jam 5 pagi. Setelah transit di Denpasar, pesawat yang saya naiki mengalami stop di dua tempat yaitu Waingapu dan Maumere dengan tujuan akhir Kupang. Untungnya saya gak salah turun di Waingapu, bisa bengong kalo harus beli tiket sendiri.
Bandara Frans Seda di Maumere

Siang hari hampir jam 12 WITA saya landing di Maumere. Disambut dengan udara panas dan kering khas Flores. Segera saya hubungi bang Billy, dan kami pun bertemu di depan pintu keluar bandara. Bang Billy mengajak mampir di kosannya untuk menyimpan barang bawaan saya sementara. Saya pun minta diantar ke kantor dinas untuk melapor dan minta pendampingan dari dinas untuk survei esok harinya. Di sini saya berkenalan dengan pak Fred, beliau lah yang kemudian menemani selama saya survei. Bahkan gak cuman menemani tapi juga nganter jemput ke hotel. Terima kasih banyak bapak.... Kapan-kapan kalo mampir ke Bogor kabari saya ya.

Ketika pulang dari kantor dinas untuk menuju kosan bang Billy, di tengah jalan saya melihat taman  yang agak lapang dan ada patung di tengahnya. "Itu apa?" tanya saya. "Patung Kristus Raja" jawab bang Billy. Saya pun heboh minta berhenti dan berfoto sebentar disana.


Patung Kristus Raja adalah salah satu peninggalan Raja Sikka, Don Thomas da Silva. Patung Kristus Raja terletak di Jantung Kota Maumere didirikan pada Tahun 1923 oleh Raja Don Tomas Simenes da Silva sebagai pelindung kota Maumere. Patung Kristus Raja juga merupakan sumber kekristenan Kabupaten Sikka. Patung tersebut hancur pada tahun 1945 ketika tentara sekutu menyerang kekuatan Jepang di Maumere dan dibangun kembali pada tahun 1989. Patung Kristus Raja diresmikan langsung oleh Paus Yohanes Paulus II ketika memimpin misa agung di Maumere pada 11 Oktober 1989 (dikopi dari warung http://blaiserichie.mywapblog.com/patung-kristus-raja-jln-soegiyopranoto-m.xhtml). 
Patung Kristus Raja

Saya pun minta diantar ke hotel yang memiliki rate murah dan dekat dengan lokasi survei keesokan harinya, akhirnya dipilihkanlah sebuah penginapan murah meriah yang ternyata adalah tempat istri bang Billy bekerja. Harga penginapan ini cukup murah, hanya Rp 125.000,- per malam untuk tipe VIP. Kamarnya luas sih, bisa diisi 3-4 orang, walaupun memang sangat standar seperti kamar kos. Masalahnya adalah air, untung begitu datang saya langsung mengisi bak, karena sore hari air tidak mengalir. Saya jadi inget comic Ari kriting dan Abdur yang orang timur, yang suka bilang sumber air di timur itu susah. Hehehhee...

Sore hari, saya minta diajak jalan ke tempat-tempat wisata yang terkenal di Maumere. Dan pilihannya jatuh pada Tanjung Kajuwulu. Dari penginapan perjalanan cukup jauh juga loh, naik motor dengan kondisi jalan lancar jaya, perjalanan ditempuh selama kurang lebih 45menit. Tapi perjalanan jauh itu terbayar ketika saya melihat laut yang membentang di depan Tanjung Kajuwulu.
Laut yang membentang di depan Tanjung Kajuwulu

Kajuwulu adalah nama salah pantai yang terletak di pinggir jalan dekat bukit, sedangkan orang Maumere sendiri menyebut daerah ini sebagai "Tanjung". Sayangnya ketika saya sampai di sana hari sudah sore, sehingga saya tidak sempat untuk turun ke pantai.

Bang Billy mengajak saya menaiki ratusan anak tangga untuk menuju puncak bukit. Sebenarnya saya tidak terlalu suka jalan atau treking atau sejenisnya, tapi kalau sudah tiba di lokasi kan tanggung kalo gak dijalanin. Ketika saya berkunjung ke Kajuwulu adalah musim kemarau, sehingga rumput di bukit Kajuwulu kering dan berwarna kecoklatan. Jika saja datangnya saat masuk musim penghujan warna rerumputan adalah hijau yang menyenangkan, seperti bukit teletubies gitu deh kalau saya lihat foto-foto orang lain yang datang saat rumput di bukit ini menghijau.
Ratusan anak tangga menuju puncak bukit

Mendekati puncak bukit mulai terlihat salib yang bertengger di atas sana. Yup, di puncak bukit Kajuwulu terdapat sebuah salib besar yang megah. Dari puncak kita bisa melihat pemandangan pantai Kajuwulu yang sangat mempesona. Indah sekali.... Jangan lupa sempatkan mampir ke Kajuwulu jika kalian pergi ke Maumere ya.  
Salib di puncak Bukit Kajuwulu

Ketika sampai di puncak bukit, matahari mulai bersembunyi dan memberikan kesempatan pada bulan untuk menggantikannya. Langit berwarna oranye berhiaskan laut dengan pulau-pulau kecil sebagai pemanisnya, semakin memperindah sunset dari atas bukit Kajuwulu.
Sunset dari Bukit Kajuwulu

Keesokan harinya saya melakukan pengumpulan data dan melakukan wawancara dengan beberapa stakeholder dengan didampingi oleh pak Fred.  Sekitar jam 2 siang, target pekerjaan untuk hari itu selesai. Setelah makan siang bang Billy menjemput, karena saya minta diantar untuk pergi ke Bukit Nilo. Tanpa ganti baju, saya pun berangkat menuju bukit Nilo. Letaknya tidak terlalu jauh dari Maumere, mungkin sekitar 8 km.
Patung Bunda Maria di puncak bukit Nilo

Untuk menuju bukit Nilo kami harus menempuh jalan melewati pemukiman penduduk yang memelihara babi, melewati hutan lenggang, jalan menanjak yang tidak terlalu lebar dan ada bagian jalanan yang rusak dan berlubang, dan akhirnya sampai juga di bukit Nilo. Ternyata tidak terlalu jauh, padahal dari bawah rasanya perjalanan akan sangat lama, ternyata tidak juga. 

Di puncak bukit Nilo terdapat patung Bunda Maria yang tingginya sekitar 20 m, dan ditempatkan di atas bangunan altar yang sekaligus menjadi pondasinya. Dan di depan patung Bunda Maria terdapat lemari untuk tempat menyalakan lilin.

Patung Bunda Maria ini mulai dibangun pada tahun 2004 dan mulai dibuka pada tahun 2005. Pada tahun 2006, patung ini jatuh akibat terkena angin kencang dan hujan lebat dan segera diperbaiki. Patung ini menghadap ke arah Laut Flores dimana Maumere tepat terletak di bawahnya. Umat Katolik mempercayai Bunda Maria melindungi Maumere dari atas bukit Nilo. Oiya, penduduk Maumere mayoritas beragama Katolik, banyak juga yang beragama Kristen, dan ada juga penduduk muslim. Mereka semua hidup dengan rukun berdampingan. 
Patung Bunda Maria di bukit Nilo

Selain Bunda Maria, di bukit Nilo juga terdapat patung Yesus yang terletak di sekitar depan altar. Patung ini menggambarkan Yesus yang sedang berbicara dengan malaikat yang dipisahkan oleh kolam. Di dalam kolam juga terdapat banyak sisa lilin yang diletakkan oleh para peziarah.
Patung Yesus dan malaikat

Selain sebagai tempat ziarah bagi umat Katolik, dari atas bukit Nilo kita dapat melihat pemandangan Maumere. Kata bang Billy, orang-orang biasanya menanti fajar terbit dari bukit Nilo ini. Sama halnya dengan Tanjung Kajuwulu, di bukit Nilo rerumputan juga sedang mengering dengan warna kecoklatan, tapi itu tidak mengurangi menikmati keindahan dari atas bukit Nilo ini.
Pemandangan Maumere dari atas Bukit Nilo

Hari ketiga di Maumere, saya melanjutkan pengambilan data. Ada pemandangan yang mengharukan saat saya berkunjung ke salah satu daerah nelayan. Anak-anak lelaki kecil di daerah ini sibuk ikut membantu ayah mereka untuk menyiapkan perbekalan melaut. Dan lagi-lagi saya teringat comic Abdur yang mengatakan di daerah pesisir Indonesia timur anak laki-laki tidak bersekolah saat musim ikan, mereka membantu orang tuanya untuk melaut.
Adek-adek kecil yang membawa perbekalan melaut untuk ayahnya

Setelah menyelesaikan pengambilan data untuk hari itu, pak Fred mengajak saya mampir ke Pantai Waiara. Pantai ini terletak sekitar 10 km dari pusat kota. Pasir di pantai ini meskipun tidak berwarna putih namun tetap memberikan pemandangan yang indah bagi para pengunjungnya. Saya dan pak Fred berjalan menyusuri pantai. Saat itu ada yacht yang sedang berhenti d tengah laut dan tidak lama kemudian beberapa bule turun menggunakan rubber boat sambil membawa karung yang sepertinya berisi baju kotor. Nampaknya mereka berniat melaundry pakaian, membeli perbekalan dan BBM sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Kami melewati bapak-bapak penjual pernak-pernik dan cangkang keong laut. Saya membeli beberapa untuk oleh-oleh teman di rumah. Dan karena pak Fred kenal dengan bapak penjual yang ternyata adalah nelayan binaan dari dinas terkait, saya dikasih bonus 1 kalung keong. Makasih bapak...

Kami juga mampir di Sea World Club, yaitu sebuah resto and resort milik orang Jerman, dan pengunjung di sini memang bule semua yang saya temui. Walaupun bukan pengunjung resort kami tetap diperbolehkan masuk dan menikmati keindahan di pantai ini.
Pantai Waiara

Sambil berkeliling, saya melihat-lihat toko souvenir di sekitar resort. Biasanya tiap pegi ke luar kota saya selalu menyempatkan membeli kain khas daerah, namun kali ini saya agak berat untuk membelinya. Maumere tidak memiliki kain khas seperti batik, namun disini kain khasnya adalah kain tenun. Bisa dibayangkan dengan cara pembuatannya yang sulit dan membutuhkan waktu lama pasti harganya juga mahal. Satu helai kain bisa berharga 300ribu untuk kualitas biasa dengan ukuran kecil hingga berharga jutan rupiah. Gak cukuplah lump sum saya kalau mau beli kain tenun itu. Akhirnya saya memutuskan membeli tas yang terbuat dari kain tenun. Harganya masih bersahabat di dompet saya yaitu Rp 150.000,-.

Pantai Waiara juga merupakan salah satu spot untuk snorkling dan diving. Sayangnya waktu terlalu mepet, karena pekerjan saya selalu selesai di sore hari, jika dipaksakan snorkling, maka kecerahan air tidak mendukung. Namun saya sangat menikmati jalan-jalan sore di pantai ini.

Menjelang matahari tergelincir, orang-orang mulai berkumpul di pantai. Sunset disini tidak terlihat dengan jelas, karena matahari tertutup jajaran pegunungan.
Sunset di Pantai Waiara

Keesokan harinya saya berencana dengan bang Billy untuk pergi ke danau kelimutu di Kabupaten Ende. Namun karena satu dan lain hal yang tidak bisa saya ceritakan disini rencana itu pun gagal. Jujur saya sangat kecewa, tapi mau bagaimana lagi, mungkin belum rejeki saya. Akhirnya hari itu saya dengan ditemani istri bang Billy mencari oleh-oleh di pasar Alok, karena disini agak sulit menemukan tempat yang menjual oleh-oleh. Yang khas dari Maumere adalah moke dan ikan kering kerapu sunu. Moke adalah jenis minumn keras khas daerah ini. Karena saya tidak mungkin membeli moke, akhirnya saya hanya membeli ikan kering kerapu sunu, kaos untuk ayah, kopi, dan dompet-dompet kecil.
Terima kasih bang Billy, istrinya dan Pak Fred

Semoga lain waktu saya bisa mengunjungi daerah lain di tanah NTT. Pengen sih mengunjungi Pulau Komodo yang katanya memiliki pantai berwarna pink dan juga pengen pergi menangkap paus di Lamalera. Semoga!

Senin, 19 Januari 2015

Maratua, Paradise Island di Kalimantan Timur

"Mbak, gabung sama kerjaan saya mau gak?" siang-siang bolong pak Budi menawari saya pekerjaan.
"Dimana, pak?" tanya saya dengan penasaran.
"Maratua, di Kaltim. Nanti ke lapang 2 atau 3 kali." jawab pak Budi.
"Wah boleh tuh, pak. Titin kan paling seneng kalo disuruh ke lapang, pak." dalam hati sambil bilang, 'Biar bisa maen gratis'.
 
Begitulah awalnya saya menerima pekerjaan ini. Sebenarnya saya kurang paham dimana kah letak pulau Maratua itu. Setelah mencari berbagai referensi, akhirnya saya tau kalau Pulau Maratua terletak di Kawasan Taman Pesisir Kepulauan Derawan. Yeeaaaah... ke Derawan gratis!! Padahal beberapa bulan lalu saya sempat melihat spanduk iklan Visit Derawan berukuran besar di sekitar Mall Jakarta Selatan dengan gambar penyu yang sangat menarik. Alhamdulillah akhirnya saya juga bisa kesana.

Sedikit gambaran mengenai Pulau Maratua. Pulau Maratua adalah pulau berbentuk mirip huruf C yang agak miring. Pulau ini terletak di Kawasan Taman Pesisir Derawan, di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pulau Maratua merupakan salah satu dari 92 Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) Indonesia yang berbatasan dengan negara lain. Pulau Maratua sendiri berbatasan dengan Malaysia, walaupun jaraknya cukup jauh yaitu lebih kurang 500 mil laut (1 mil laut = 1,852 km). Luas Pulau Maratua adalah 4.119,54 km2 yang didominasi oleh perairan sebesar 90,67% dan dengan garis pantai sepanjang 70,34 km. Karena keindahannya pulau ini disebut Paradise Island. Bahkan saya sempat membaca bahwa Pangeran William dari Inggris sempat berlibur di pulau ini untuk menikmati keindahannya.
Peta Pulau Maratua dengan Inzet Peta Berau


Untuk pekerjaan ini saya 3 kali pergi ke Berau, namun hanya 2 kali ke Pulau Maratua. Pertama kali saya pergi ke pulau Maratua adalah awal puasa 2014, karena pengambilan data sudah harus mulai dilakukan. Dari Soekarno Hatta saya, Awan, pak Budi dan mas Emon menuju Balikpapan untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Berau. Awan ini adalah teman saya kuliah, saat itu dia berangkat sebagai diver untuk menghitung tutupan terumbu karang. Kalau pak Budi adalah leader dalam pekerjaan ini, sedangkan mas Emon dari pihak manajemen.

Pesawat yang digunakan menuju Berau adalah tipe ATR yang menggunakan baling-baling. Pesawat jenis ini adalah pesawat kecil yang hanya memiliki 1 pintu di bagian belakang, dengan kapasitas penumpang sekitar 40-50 orang. Kami tiba di Berau pas adzan manghrib. Lumayan... Saur ikut Bogor, buka ikut Berau, hemat setengah jam. Hehehehe...
 
Pesawat ATR 72-500 yang mengantar kami dari Balikpapan menuju Berau

Pagi harinya kami langsung menuju dinas terkait. Dari kementrian ada 2 orang yang ikut bergabung untuk pengambilan data yaitu mas Teddy dan mbak Lia. Setelah selesai mengurus perijinan, siang hari kami langsung menuju Pulau Maratua, dengan bantuan pihak dinas kami langsung dihubungkan dengan pak Jahin petugas dinas yang ditempatkan di Pulau Maratua dan memiliki homestay.

Dari pusat Kabupaten Berau yaitu Tanjung Redeb, kami menuju Tanjung Batu. Perjalanan ditempuh selama lebih kurang 2,5 jam. Entah kenapa saya merasa mual selama di perjalanan, dan ternyata yang lain pun begitu, entah jalannya yang terlalu berliku atau driver nya yang kurang halus nyetirnya.

Di Tanjung Batu sudah ada speed boat yang menunggu untuk mengantar kami ke pulau Maratua. Dalam perjalanan 1 jam dan 10 menit sampailah kami di Pulau Maratua. Waaahh... dari jauh saja saya sudah bisa melihat kejernihan air lautnya dan kemurnian pulau ini, bahkan terumbu karang juga terlihat dari atas boat yang kami naiki. Speed boat sandar di dermaga dan kami berjalan ke rumah pak Jahin yang hanya berjarak sekitar 200meter dari dermaga.
 Welcome to Maratua Island

Beberapa hari sebelum berangkat ke Berau, alergi saya kumat dan ini sangat mengganggu. Ketika alergi saya kumat yang biasanya akibat salah makan, proses dari awal sakit hingga kulit mengembung, lalu mengering, lalu mengelupas bak kulit ular itu bisa berlangsung selama sebulan. Saat paling menyebalkan adalah ketika kulit terasa amat sangat gatal sampai gak tahan dan hasrat menggaruk sangat tinggi, padahal dengan menggaruk, area alergi menjadi semakin lebar, tapi bodo amat yang penting lega sementara. Nah salah satu obat manjur untuk mengatasi gatal saat alergi ada dua cara alami, pertama berendam di air laut, kedua direndam belerang. Itulah salah satu sebab begitu sampai pulau Maratua, menyimpan tas, saya langsung mengajak Awan berenang di sekitar penginapan. Alasan lainnya sudah pasti pengen liat kondisi sekitar sambil jalan jalan.
Pantai di depan homestay

Dengan meminjam alat snorkle dari pak Jahin saya dan Awan mulai berjalan menyusuri pantai. Kami berenang sambil menikmati pemandangan dan jernihnya air laut. Tiba-tiba suara kecipak yang sangat kencang terdengar, kami kaget bukan main. Kami cari dari mana kah asalnya namun tetap tidak ditemukan. Kami kembali berenang dan terdengar kembali suara kecipak di air dengan kencang, dan tiba-tiba Awan melihat sesosok kepala penyu. Kami cari di bawah permukaan air tapi sepertinya sudah terlambat, dia sudah keburu kabur. Besok aja kita ketemunya ya penyu... 
Snorkling di sekitar homestay dan resort

Ketika akan kembali ke penginapan, saya melihat sesosok makhluk di dalam air menggeliat-geliat. Ternyata ular laut dengan tubuh bergaris putih hitam macam baju anak magang ajalah dia ni. Hai ular laut, apa kabar dirimu?
Ular laut keturunan zebra, badannya garis-garis item putih

Pulau Maratua terdiri dari 4 kampung yaitu Kampung Teluk Harapan, Bohesilian, Teluk Alulu dan Payung-Payung. Teluk Alulu merupakan satu-satunya kampung yang letaknya agak terpisah dan harus melewati jalur laut. Kebetulan kami tinggal di Teluk Harapan yang merupakan pusat kecamatan. Disini air bersih diperoleh dari mengebor sumur. Sinyal internet sudah ada walaupun hanya sampai edge. Lagi-lagi permasalahannya adalah listrik. Aliran listrik belum masuk ke daerah ini. Masyarakat umumnya menggunakan genset, baik pribadi maupun berbarengan. Bisa dibayangkan dengan harga BBM yang saat itu belum naik, harga bensin di Pulau Maratua sudah Rp 10.000,- per liter. Apa jadinya nasib penduduk yang harus memenuhi berbagai kebutuhan dengan BBM, sedangkan infrastruktur dasar berupa listrik saja mereka belum memperoleh. Bisakah kita sejenak memikirkan mereka yang berada di daerah terpencil dan masih dalam negeri yang sama dengan kita? Mereka tidak mengeluh dengan harga BBM yang saat itu sudah selangit, mereka hanya berusaha hidup dengan sebaik mungkin. Miris kadang ketika membicarakan hal yang terjadi di negeri ini. Negeri yang kaya namun terjajah. Macam orasi saja lah awak ni, tapi ini benar-benar curahan hati kok.

Di Pulau Maratua terdapat beberapa suku antara lain Banjar, Dayak dan Bajau. Oiya, suku Bajau berbeda dengan suku Bajo ya. Suku Bajo hidup di laut dan tinggal di Sulawesi Selatan, sedangkan suku Bajau adalah suku asli Filipina tepatnya dari Kepulauan Sulu. Suku Bajau ini adalah suku pelaut. Banyak dari orang-orang suku Bajau di Maratua yang keluarga besarnya masih tinggal di Filipina.


Hari kedua kami di Pulau Maratua, tim dibagi menjadi 2. Saya, pak Budi dan mbak Lia bertugas mengukur tutupan mangrove, sedangkan Awan, mas Teddy dan dive master lokal yaitu bang Rivi bertugas mengukur tutupan terumbu karang. Bang Rivi merupakan diver dari salah satu resort dekat homestay tempat kami menginap.

Yang bertugas di laut berangkat terlebih dahulu, sedangkan yang bertugas di mangrove, mengurus perijinan pada beberapa instansi seperti TNI AL, Polsek, Kepala desa dan sebagainya. Agak bengong juga sih saya melihat kondisi di sini. Sudah ditetapkan bahwa Pulau Marartua merupakan salah satu dari 92 PPKT, tapi pulau ini sangat minim penjagaan. Petugas TNI AL yang berjaga di base kalau saya tidak salah ingat adalah 3 orang. Hmm... entahlah. Sepertinya kita harus benar-benar lebih memperkuat penjagaan di negara ini. Bisa dibayangkan, siapa yang akan tau jika ada illegal fishing terjadi di perairan yang sebenarnya masuk batas wilayah Indonesia. Semoga tindak lanjut segera dilakukan, sebelum negara yang sangat kaya ini berubah menjadi sangat miskin karena dieksploitasi oleh asing.
 Kantor TNI AL
 Puskesmas di Kecamatan Maratua
Polsek Maratua

Setelah selesai mengurus perijinan, kami menuju ke arah berlawanan dengan dermaga, karena kami akan menghitung tutupan mangrove di sekitar teluk. Kami pun naik speed boat untuk mengelilingi bagian dalam teluk. Cuaca agak kurang mendukung, mendung dan tiba-tiba gerimis. Untung saja kami membawa map plastik untuk menyimpan dokumen penting. Kami memgambil beberapa titik, mengidentifikasi jenis tanaman dan menghitung tutupan mangrove dalam transek 20x20 m.
Jenis-jenis pohon mangrove di perairan sekitar teluk

Ada beberapa hewan di mangrove seperti bintang laut cacing, ketam, ikan2 kecil, dan sebagainya. Pengambilan data ini ternyata tidak berlangsung lama, sebelum jam 12 siang pekerjaan kami telah selesai dan kembali ke penginapan.
Kumpulan bintang laut mangrove yang lebih mirip uler

Bosan sekali rasanya saya di kamar, siang hari genset belum dinyalakan, sehingga tv d ruang makan juga mati. Tiba-tiba Awan menelpon. "Dimana lo? Mau ikutan kami ngukur tutupan terumbu karang gak? Tadi oksigennya habis jadi kami pulang dulu ke resort. Sekitar setengah jam lagi kita sampe". Tak perlu menunggu lama dalam 5 menit pun saya sudah siap dengan kostum berenang. Aku siap... aku siap... (logat sponge bob).

Ternyata mas Teddy bertukar dengan saya, dia ingin istirahat di kamar. Sesampainya di boat saya mendengar cerita kocak tentang mereka. Cuaca laut memang sedang tidak terlalu baik, dan mereka semua tidak kuat menghadapinya. Mereka berniat buka puasa lebih awal di resort, tapi pegawai resort menolak dengan alasan yang boleh makan hanya tamu resort. Ketawa ngakak saya mendengar cerita ini. Apalagi ditambahkan bahasa oleh mas Teddy, ibarat orang lagi makan mie kuah, itu kuah (niat) udah abis, tinggal sruput mie nya aja (buka puasa). Hahhahahaa... Untunglah setelah siang cuaca membaik dan semua bisa berjalan kembali normal.

Saya hanya ikut dalam 3 atau 4 titik dalam pengambilan sampel hari itu. Tentunya saya snorkling dengan alasan biar alergi cepat sembuh. Dan bang Rivi dengan hebatnya menangkap 2 ikan karang menggunakan senapan ikan. Nembak mania... Mantap!!
Hasil tangkapan bang Rivi (model tidak termasuk)

Hari ketiga sebelum ditanya pak Budi saya sudah mengajukan diri. "Pak, Titin besok ikut Awan aja ya, ngitung tutupan terumbu karang dan lamun". Yang akhirnya di'iya'kan oleh pak Budi.

Pagi-pagi sekali saya sudah siap dengan kostum kemarin. Ya iyalah, ngapain pake baju bersih baru, yang kemarin basah aja pake lagi, ntar juga basah lagi.
Foto dulu sebelom berangkat

Ketika Awan dan bang Rivi mengambil data, saya dan mas teddy asyik snorkling sendiri. Bagusss sekali perairan disini, jernih, biota-biota juga masih banyak dan bervariasi menyenangkan hati bagi yang melihatnya. Perairan di Maratua memiliki tutupan terumbu karang yang didominasi oleh hard coral dengan tutupan mencapai 60%. Kami sempat melihat adanya karang keras berbentuk seperti meja dengan diameter sekitar 2-3 meter. Mungkin itu meja belajar buat si Paus, hehehhhee.
Beberapa hard coral yang terdokumentasi
Soft coral di titik-titik pengambilan data
Biota yang hidup di sekitar terumbu karang

Di tengah perjalanan, kami diberitahu bahwa ada kumpulan karang yang berbentuk seperti daratan. Kami langsung saja minta diantar ke lokasinya. Dan wow ternyata benar, tumpukan karang mati yang mungkin terkumpul akibat arus dan gelombang dan membentuk seperti pulau. Boat kami pun harus mendongakkan mesin dan didorong agak tidak kandas.
Tumpukan karang mati yang terkumpul sehingga mirip pulau

Hari itu ketika sedang snorkling saya melihat penyu dua kali, senang bukan main. Dan ternyata bang Rivi berhasil memotretnya. Ada hal yang membuat saya lebih senang lagi hari itu, karena Awan mengalami gagal equalizing, gara2 flu, jadi satu alat scuba nganggur, dan mas Teddy menawarkan ke saya. Akhirnya bang Rivi mendampingi saya untuk menyelam. Yeeaaah... Bang Rivi mengaturkan semua peralatan untuk saya, dan saya diajak menyelam dan menyentuh terumbu karang di sekitar perairan yang tidak jauh dari resort. Sebenarnya mengajari atau mendampingi orang lain tidak dibolehkan karena seharusnya ada biaya tambahan yang harus dibayarkan, setau saya sekitar Rp 500.000,- biaya yang harus dikeluarkan jika ingin diving ditemani oleh dive masternya. Untungnya bang Rivi baik. Makasih abang atas kebaikanmu.


Pada hari keempat saya dan Awan masih punya tugas yang belum selesai yaitu mencari tutupan lamun di dua titik lagi dan mengukurnya. Tapi hujan turun sejak tengah malam dan awet sekali. Kami semua hanya bermalas-malasan. Mau ngapain coba, lagi puasa, tv kagak bisa nyala, ya tidur ajalah di kamar.

Jam 2 siang hujan mulai reda. Saya dan Awan segera berpamitan untuk mengumpulkan data terakhir dengan meminjam motor pak Jahin. Tujuan kami adalah ke Teluk Pea yang berdasarkan keterangan penduduk setempat memiliki lamun yang cukup besar dan banyak penyu. Berdasarkan penjelasan pak Jahin Teluk Pea terletak dekat dengan lokasi pembangunan Bandara di Pulau Maratua. Di Maratua memang sedang dibangun bandara agar nantinya wisatawan dapat langsung landing di Pulau ini tanpa harus transit ke Berau.

Kami sudah merasa jauh mengendarai motor tetapi yang kami cari belum ketemu juga. Ketika ada ada seorang mbak duduk di depan sebuah rumah, kami memutuskan untuk bertanya. Dan ternyata kami terlalu jauh, seharusnya belok kanan. Kami pun putar balik, mencoba belok kanan di suatu jalan kecil. Tapi semakin lama jalanan semakin sempit dan semakin berbatu, sepertinya jalan setapak untuk pejalan kaki. Motor pak Jahin tidak kuat dan kami parkirkan dengan tetap berharap kami menuu jalan yang benar. Makin lama, saya dan Awan makin masuk ke hutan. Ooo... mak! Kesasar lagi lah kami ternyata. Setelah mencoba keluar dari lokasi hutan itu dan akhirnya kembali lagi ke rumah mbak-mbak tempat kami bertanya tadi. Tapi mbaknya ganti, bukan yang tadi lagi, jadi gak malu lah kami bertanya pertanyaan yang sama. Putar balik lagi dan akhirnya menemukan lokasi Teluk Pea. Teluk Pea membuat kami menjadi pe'a. Pengalaman bagus banget ini, kesasar berdua di dalam hutan. Untung gak ada rumah permen dari para penyihir, nanti kami bisa-bisa jadi diabetes seperti Hanzel & Gretel.
Akhirnya, ketemu juga nih Teluk Pea

Teluk Pea memiliki jembatan yang di bawahnya terdapat banyak sekali lamun, selain itu di setiap pinggir daratan terdapat banyak mangrove. Dan ketika Awan mulai mengukur tutupan lamun, dari atas jembatan saya melihat penyu mendekat ke arah Awan, sepertinya dia sedang makan. Hai penyu, how are you?
Penyu yang sedang mencari makan di Teluk Pea

Penderitaan kami masih berlanjut ketika pulang. Kami sudah hapal jalan pulang. Masalahnya rantai motor pak Jahin copot 2x selama perjalanan pulang. Jadilah kami bolak-balik turun, dan akhirnya mengendarai motor dengan kecepatan cuma sekitar 20-30 km/jam. Bisa dikejar sama mbah-mbah naek becak tuh kayaknya. Aya-aya wae yeuh.

Keesokan harinya saya, Awan, mas Teddy dan mbak Lia kembali ke Jakarta. Sedangkan pak Budi dan mas Emon tetap tinggal untuk pengambilan data pasut dan bathimetri. Kali ini kami minta agar speed boat mengantar kami hingga masuk sungai dan menurunkan kami di depan masjid di Tanjung Redeb. Lebih baik naik speed boat sekitar 3 jam dari pada harus turun di Tanjung Batu dan di lanjut dengan naik mobil 2,5 jam. Sungai-sungai di Kalimantan ini sangat besar, saya takjub karena baru pertama kali ke sini. Tongkang yang gedenya sampe bisa muat helikopter aja bisa beroperasi di sungai-sungai ini. Kemungkinan kedalaman sungai bisa mencapai hingga 30 m.
Salah satu tongkang di sungai dekat masjid Tanjung Redeb

Oiya, ada salah satu agen transportasi dari Berau menuju Derawan dan Maratua, harga satu kali perjalanan 200-300 ribu. Saya sempat mengambil gambar spanduk, semoga bermanfaat untuk yang ingin berwisata ke Kawasan Taman Pesisir Derawan.
Agen transportasi dari Berau menuju Derawan dan Maratua

Kali kedua saya ke Berau adalah bulan September. Saya datang bersama pak Budi, pak Efrizal, mas Emon, mas Mahdan dan mas Teddy. Kali ini tujuan utamanya adalah menyampaikan hasil penelitian awal, dan melanjutkan pengambilan data sampel air serta substrat dasar perairan.

Keesokan harinya setelah urusan dengan dinas selesai sebenarnya kami berencana langsung menuju Pulau Maratua tapi ternyata cuaca sedang tidak baik, ombak tinggi dan Bang Doni nahkoda speed boat tertahan di Pulau Derawan saat sedang mengisi BBM. Pada perjalanan ini saya tidak punya teman bermain yang dekat, karena semua bapak-bapak dan om-om. Karena perjalanan ke Maratua ditunda saya pun memutuskan jalan-jalan sendiri. Saya bertanya pada petugas hotel, daerah mana yang bisa dikunjungi, dan ternyata hanya masjid agung karena untuk menuju Istana Sambaliung harus naik perahu, sedangkan museum Gunung Tabur sudah tutup di sore hari. Dengan menggunakan taxi akhirnya sore hari saya pergi jalan2 sendiri ke Masjid Agung Berau. Taxi yang dimaksud disini adalah angkot, tapi bisa mengantarkan kemanapun tujuan anda. Jadi rutenya tergantung penumpang, hehhehheeee....

Bangunan masjid Berau sangat megah dengan 7 kubah di atasnya. Warna utama masjid ini adalah hijau soft yang menenangkan. Saya berkeliling masjid dan mengabadikannya.
Senja di Masjid Agung Baitul Hikmah, Berau

Keesokan paginya kami sudah dijemput bang Doni di sungai depan masjid. Di tengah perjalanan Bang Doni  menanyakan apakah ada yang mau buang air. Spontan saya menjawab, "saya mau". Sebenarnya sih tidak terlalu, tapi karena saya melihat kami mendekati pulau Derawan, biar bisa mampir dan sedikit foto lah di Pulau Derawan.
Mampir numpang pipis di salah satu resort di Pulau Derawan

Pulau Derawan menurut saya sudah sangat crowded. Terlalu banyak bangunan dan terlalu ramai, sangat berbeda dengan Pulau Maratua. Oiya, kawasan Taman Pesisir Derawan ini terkenal di 4 lokasi utama, yaitu 1) Pulau Derawan yang memiliki banyak tempat penginapan, 2) Pulau Maratua yang terkenal dengan keaslian daerahnya dan merupakan tempat berkumpulnya penyu terutama di daerah Payung-Payung bahkan menurut salah satu orang NGO, Payung-Payung merupakan tempat berkumpulnya penyu dunia (tempat konferensi kali yah), 3) Pulau Sangalaki yang terkenal dengan pari manta, dan 4) Pulau Kakaban yang terkenal dengan danaunya yang memiliki 4 spesies ubur-ubur dan tidak menyengat.

Siang bolong kami sampai di Maratua. Kami pun menuju penginapan pak Jahin untuk beristirahat. Pengambilan data ditunda hingga besok pagi karena cuaca sangat panas. Sore harinya kami menikmati pantai sambil melihat anak-anak kecil bermain. Senang sekali melihat anak-anak kecil ini bermain di alam bebas, mereka berenang di laut dengan teman-teman sebaya nya, orang tua mereka mengawasi sambil membakar ikan di pantai. Pemandangan keluarga di alam yang sangat menyenangkan hati.
Anak-anak bermain di pantai sore hari, didampingi orang tua yang bakar2 ikan

Matahari mulai jatuh dan meciptakan siluet yang indah di pantai Teluk Harapan, Pulau Maratua. See ya sunset, welcome nite.
Antara sunset, ranting dan saya

Pagi harinya, saya, mas Emon dan mas Mahdan sudah siap untuk mengelilingi Pulau Maratua untuk mengambil beberapa data dan sampel air di 18 titik. Saya sangat ingat pagi itu sarapan nasi goreng, telur dadar dan tempe goreng. Ketika saya naik ke boat entah mengapa saya merasa pusing, ada hal yang tidak kami sadari (saya, mas Emon dan mas Mahdan), bahwa untuk naik ke boat kami tidak perlu menuruni tangga dermaga yang artinya air laut sedang sangat pasang. Mual sekali saya selama perjalanan, dan ketika kami sampai di titik pertama, jackpot pertama dari saya pun keluar. Sambil menggumam "nasi goreng...". Di titik kedua saya kembali jackpot, kali ini ditemani oleh mas Emon. Saya kembali menggumam "telor dadar" yang diiringi tawa nahkoda. Titik ketiga saya jackpot lagi, yang kocak adalah saya dan mas Emon sama-sama di sisi kanan boat dan balapan jackpot. Nahkoda dan awaknya girang bukan kepalang melihat kami. Hadeeh mentang-mentang anak laut ni abang-abang. Total hari itu mas Mahdan 2 kali jackpot, saya 4 kali jackpot dan mas Emon 5 kali jackpot. Hahahhahaaa.... ini rekor yang bikin badan kami lemes. Saya baru tau keesokan harinya bahwa pagi itu sedang angin selatan sehingga ombak besar dan tinggi, dan alasan Bang Doni yang tetap menjalankan boat membuat saya bengong "Abisnya semua udah masuk boat, masak saya suruh turun lagi". Bang Doni.... saya mending dikasih tau dan turun dulu daripada lemes begini.
Lambaikan tangan ke kamera

Untuk mengistirahatkan kami sebentar dan menunggu ombak agak tenang, siang harinya kami mendarat di Resort Nunukan. Resort ini adalah milik bule Jerman. Agak menyedihkan memang dari 6 resort yang ada di Pulau Maratua hanya satu yang merupakan milik pribumi, lainnya milik asing. Ayo dong, investor Indonesia... Alam mu sangat bagus loh, masak kita kalah ama bule. Satu lagi, di sini kami tidak melihat pengunjung selain bule-bule. Bule aja tau lokasi Indonesia yang spektakuler, kita kalah nih.
Diajak turun boat langsung sembuh

Kami berhenti istirahat sebentar walaupun tidak boleh masuk ke kawasan resort karena kami bawa bekal nasi. Akhirny kami diijinkan beristirahat di tempat penyimpanan alat scuba, itu pun karena bang Doni kenal dengan bule si penjaga. Resort ini sepertinya merupakan teras terangkat, dengan karang yang menjulang tinggi, bahkan resto dibangun di atas teras terangkat ini. Bagi yang bertanya apa itu teras terangkat, mungkin bisa kembali membaca tulisan saya yang berjudul 'Selayar... Sejarah Para Pelayar'.
Resto resort yang dibangun di atas karang

Ombak di laut sudah terlihat tenang, bang Doni mengajak melanjutkan perjalanan agar pekerjaan bisa cepat selesai, dan lagi saya dan mas Mahdan heboh ingin mampir ke Pulau Kakaban untuk berenang dengan ubur-ubur. Kami pun melanjutkan sisa pengambilan data di 4 titik dan mampir ke Pulau Kakaban. Pulau Kakaban masuk dalam kecamatan Maratua dan dikelola oleh Kampung Payung-Payung. Tiket masuk ke Danau Kakaban cukup mahal loh, yaitu Rp 20.000,- dan sewa kacamata snorkle Rp 50.000,- tanpa fin karena ditakutkan akan melukai ubur-ubur.
 Hello Kakaban Island
 Jangan buang sampah sembarangan ya

Abang penjaga bilang kami harus berjalan sekitar 30 meter di jembatan, baru akan sampai di danau. Kenyataannya adalah : jembatan itu panjangnya sekitar 200 meter dengan trek agak mendaki dan licin melewati hutan-hutan yang dipenuhi suara burung, tokek, dan entah apalagi. Begitu sampai di danau kakaban, hanya kami bertiga yang ada di sana, pengunjung lain sudah pulang dan memang Kakaban ini adalah pulau tak berpenghuni jadi hanya abang penjaga loket saja yang piket bergantian. Menurut salah seorang di Maratua, di Pulau Kakaban masih terdapat ular-ular besar sehingga tidak ada yang berani kesana malam-malam. Mungkin saja sih kalau melihat hutan yang kami lalui.
Ini dia si Danau Kakaban
Kumpulan ubur-ubur yang sedang istirahat dengan tentakel di atas

Air di danau ini warnanya hijau agak keruh, mungkin pengaruh alga-alga di dalamnya. Berdasarkan indera perasa kami, salinitas air di danau ini sekitar 30. Cukup asin. Di dekat ujung jembatan sudah terlihat banyaknya ubur-ubur dalam posisi terbalik yang sedang bersantai. Kami berenang tidak jauh-jauh dari dermaga karena khawatir terjadi apa-apa, sedangkan kami hanya bertiga. Kami pun mulai bermain dengan ubur-ubur, tidak perlu khawatir memegangnya karena mereka tidak menyengat. Danau Kakaban sendiri sudah menjadi pusat penelitian dunia loh. Hebat kan!
Maen sama ubur-ubur

Sebenarnya ada 4 jenis ubur-ubur, namun kami hanya menemukan 2 jenis yaitu yang berwarna peach dan bening. Selain ubur-ubur berwarna peach dan bening, di danau ini juga terdapat ikan-ikan kecil yang bentuknya mirip ikan julung-julung, tapi mereka juga tidak mengganggu. Soft coral juga mulai tumbuh di berbagai tempat. Setelah puas bermain di danau kami pun segera naik untuk kembali ke Maratua.
Ikan-ikan dan baby coral yang hidup di Danau Kakaban

Sesampainya di depan penginapan saya berpapasan dengan mas Teddy, saya pun pamer dulu kalau kami baru pulang dari Kakaban. Kebiasaaan bocah kan doyan pamer.

Kebetulan mas Teddy mau pergi snorkling di depan penginapan, saya ikut karena gak mau ketinggalan. Air laut mulai pasang, banyak sekali anak-anak yang berenang di sekitar pantai dan dermaga. Ikan-ikan mulai terlihat berseliweran. Tiba-tiba kami terperangah dengan sesosok hewan yang sedang berenang. Penyu! Besar sekali, dengan ukuran diameter tempurung sekitar 50 cm, usianya mungkin sudah di atas 30 tahun. Penyu memang kesulitan untuk bertahan hidup saat masih tukik, namun setelah usianya mulai dewasa dan tempurungnya mulai besar dan keras, predatornya akan berkurang, dan penyu memiliki usia yang panjang, bahkan ada yang mencapai ratusan tahun.

Saya berusaha mengejar dan memegang si penyu, mas Teddy berusaha mendokumentasikannya. Tapi sepertinya si penyu kaget karena saya terlalu agresif mengejarnya, dia pun kabur dengan cepatnya. Ya sudah... hati-hati ya penyu.
Mengejar si penyu

Menjelang maghrib, Iwan, seorang dari NGO yang juga menginap di homestay pak Jahin berhasil menangkap ikan dengan ukuran besar. Dan ikan itu dibakar malam harinya. Sayangnya saya ketiduran dan gak seorang pun membangunkan. Tega ih...
 
Pak Budi dan pak Efrizal foto sama si ikan sebelum dibakar

Keesokan harinya kami harus kembali ke Berau. Pagi-pagi kami sudah bersiap, tetapi pak Jahin menyuruh kami kembali ke rumah. Katanya akan badai. Hebat ya kalau orang lokal, bisa paham cuaca. Dan benar saja tiba-tiba datang awan hitam besar diiringi ombak di laut semakin tinggi dan angin mulai bertiup kencang, dan gak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Oke selamat menunggu.
Awan hitam dan ombak tinggi, disusul hujan deras

Sekitar jam 9 hujan mulai reda kami pun berkemas untuk ke Berau. Dalam perjalanan, saya, mas Teddy dan mas Mahdan merayu pak Budi agar mau mampir di Pulau Sangalaki, mencoba mencari Pari Manta. Sayangnya pak Budi ogah-ogahan didukung dengan bang Doni yang bilang ini bukan jam keluarnya si Manta. Padahal kan kami sedang mencari peruntungan, kalau ketemu Manta alhamdulillah, kalo gak ketemu yang penting udah snorkling di Pulau Sangalaki. Dan Pulau Sangalaki pun terlewati. Hiks!

Sepertinya pak Budi melihat kekecewaan kami, hingga akhirnya pak Budi mengiyakan ketika kami minta mampir berhenti untuk snorkling sebentar di Pulau Semama. Pulau Semama sendiri adalah zona inti yang artinya merupakan daerah konservasi yang tidak boleh dilakukan aktivitas, hal ini dilakukan untuk menjaga keutuhan di lokasi ini. Kami pun mulai snorkling di sekitar perairan ini. 

Menurut saya pribadi, lokasi tempat kami snorkling saat itu jika dibandingkan dengan Pulau Maratua, masih jauh lebih bagus di Pulau Maratua. Namun bisa saja karena tempat kami snorkling memang bukan titik unggulan lokasi terumbu karang.
Snorkling di Pulau Semama

Malam hari ketika di hotel, saya mampir ke kamar mas Emon dan mas Mahdan untuk meng copy foto-foto. Dan mereka berdua tenyata sedang flu berat. Saya sedang sial karena vitamin saya habis. Jadilah saya tertular flu akibat dua orang itu, ditambah kecapekan, dan selang satu hari setelah tiba di Bogor saya harus berangkat ke Jawa Timur. Lengkap!

Ketiga kalinya ke Berau, saya dan tim hanya menyelesaikan urusan di dinas dan tidak pergi ke Pulau Maratua. Kami berangkat dengan pesawat siang, sore istirahat di hotel, pagi hari menyelesaikan urusan di dinas dan sorenya kembali ke Jakarta. Nyetrika Jakarta-Berau kalau menurut istilah saya. Dan tentu saja gak sempat kemanapun.
Lambaian tangan kru Garuda Indonesia di Bandara Kalimarau, Berau

Dari ketinggian, terlihat aliran sungai di Kabupaten Berau. Panjang dan berliku, namun sangat indah. See you, Berau.
Berau dari ketinggian

Saya sangat puas menikmati Pulau Maratua pada pekerjaan ini. Terima kasih Tuhan, atas keindahan yang sudah Kau berikan pada negeri ini. Terima kasih Pulau Maratua beserta penduduk dan biotanya yang telah menyambut dengan keramahannya. Semoga lain waktu saya bisa kembali mengunjungimu.