Translate

Rabu, 31 Desember 2014

Pertemuan di Pantai Sawarna-Banten

Kali ini saya, Icha dan Dina ingin menikmati suasana pantai yang konon katanya memiliki pemandangan yang indah. Pantai Sawarna yang terletak di Propinsi Banten itulah lokasi tujuan kami.

Kami bertiga bergabung dengan peserta trip lain yang berjumlah 12 orang, yang terdiri dari 9 perempuan dan 6 laki-laki. Ini kali pertamanya kami ikut trip backpacker. Kami mencoba mengenal satu sama lain. Setelah semua peserta berkumpul kami pun melaju menggunakan L300. Perjalanan menuju Pantai Sawarna ternyata sangat jauh, untungnya saya, Icha dan Dina tidak mudah bosan di perjalanan, kami mengobrol, ngakak-ngakak, makan dan membuat kehebohan lainnya di dalam mobil. Sepertinya peserta lain merasa agak terganggu tidurnya, tapi niat kami baik kok, supaya tidak merasa bosan. Hahahhhaaa... 

Tengah malam mobil berhenti, saya yang akhirnya bisa tertidur pun jadi terbangun. Saya kira Pantai Sawarna sudah dekat, ternyata itu hanya khayalan, kenyataannya sang abang sopir sedang memperbaiki mobil yang AC nya tidak berfungsi dengan baik. Yaelaah... aya-aya wae yeuh. Mobil berhenti di daerah sekitar Palabuhanratu-Sukabumi, saya mudah mengenalinya karena tempat saya kuliah memiliki stasiun lapang kelautan (SLK) di daerah ini. Saya dan Dina pun meracau tentang "bakso ikan Sabar" dan merayu teman-teman lain agar pulangnya bisa mampir dan makan siang di tempat bakso itu. Tak terasa waktu berlalu, mobil pun sudah siap untuk kembali melaju.

Menjelang subuh kami sampai di area Pantai Sawarna, dan ternyata kami masih harus berjalan untuk menuju tempat penginapan. Cukup jauh juga sih, kami melewati jembatan dan melewati rumah-rumah perkampungan penduduk, sampai akhirnya tiba di sebuah penginapan yang sudah dipesan oleh salah satu teman saya. Penginapan ini hanya digunakan untuk para perempuan karena teman laki-laki kami lebih memilih tidur di pantai menggunakan tenda agar lebih terasa backpackernya.

Jembatan yang menghubungkan jalan utama dengan rumah pendudukdi sekitar pantai

Pagi hari setelah sarapan kami pun bersiap untuk menikmati pantai Sawarna. Pantai Sawarna di mata saya terlihat seperti pantai di Palabuhanratu. Tapi karena saya memang selalu menyukai pantai, laut beserta isinya, saya dan teman-teman baru saya langsung bermain dengan pantai dan ombak laut.

Laut yang menyambut kami dengan keramahannya


Geng ceweknya nih
Foto keluarga formasi lengkap di Pantai Sawarna

Ketika matahari mulai meninggi dan air laut pun mulai pasang, kami harus rela untuk meninggalkan pantai. Karena kami memiliki beberapa agenda lain di hari ini, yaitu berkunjung ke Goa Lalay, Pantai Legon Pari dan Pantai Tanjung Layar. Kami pun mandi dan bersiap dengan membawa senter untuk berkunjung ke Goa Lalay. 

Menuju Goa Lalay kami harus berjalan kaki, selain karena murah juga karena medan menuju lokasi goa cukup sulit. Untuk menuju goa kami harus berjalan sekitar 1 km dengan melewati jembatan gantung, pematang sawah, hutan penduduk baru deh sampai di lokasi tujuan. 

Mulut goa sudah menganga di depan kami, menunggu untuk kami jelajahi.  Kondisi di dalam gelap, licin dan lembab. Ada air seperti aliran sungai yang menggenang hingga setinggi paha orang dewasa. Di dalam goa ini terdapat banyak stalaktit yang mengeluarkan tetesan air bening.
 Berpose bersama stalaktit goa

Seperti biasa... saat mengunjungi tempat-tempat seperti ini saya selalu merasa tidak tenang, seperti ada hawa mistis yang tersimpan di dalamnya. Saya lebih menyukai untuk segera keluar dan menemukan sinar matahari. Setelah menunggu teman-teman puas mengelilingi dalam goa, walaupun tidak seluruhnya, kami naik menuju jembatan yang terletak di dekat pintu keluar goa.
 Cheese!!

Dari Goa Lalay kami memilih dua orang anak kecil untuk menjadi pemandu kami menuju Pantai Legon Pari. Jalan yang kami tempuh menuju pantai ini lebih heboh daripada perjalanan menuju Goa Lalay. Kami harus melewati sawah-sawah licin, mendaki, jalanan melewati kebun dan hutan yang terjal, dan hasilnya adalah kami terpeleset disana-sini, baju compang-camping dan muka kucel. Tapi semua itu terbayar dengan indahnya Pantai Legon Pari yang kami lihat di depan mata. Yeeaaayyyy... Beautiful!
 Legon Pari Beach
 Menapaki Pantai Legon Pari

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pantai Tanjung Layar. Dari Pantai Legon Pari kami hanya perlu menyusuri pantai untuk menuju Pantai Tanjung Layar. Pantai ini memiliki batu yang berdiri tinggi tidak jauh dari pantai dengan bentuk mirip layar kapal, dari situlah nama pantai ini dibuat. Sambil menikmati kudapan ringan dan air kelapa muda kami duduk menunggu matahari tergelincir. Salah satu momen yang paling saya sukai di pantai, menunggu sunset.

Sunset di Pantai Tanjung Layar


Keesokan paginya kami pun bersiap untuk pulang. Karena perjalanan melewati Sukabumi kami meyempatkan mampir di pemandian air panas Cipanas. Air panas ini berasal dari perut bumi yang dikeluarkan dari celah-celah bebatuan. Kalau kata Duta teman baru saya, ini bisa disebut sebagai "air moncrot", buahahhahahhaaaa... Air moncrot ini suhunya cukup tinggi loh, kalian aja bisa merebus telur disini.

Sayangnya lokasi ini kurang terawat dengan baik. Terlihat dari tidak baiknya toilet umum, banyak sampah yang berserakan dan adanya pengunjung yang bahkan buang air di sekitar air panas. Sayang sekali....


 
 Pemandian Cipanas-Sukabumi


Sesuai rencana awal, kami pun makan siang di "Bakso Ikan Sabar" yang terletak di pasar depan TPI Palabuhanratu, sebelum akhirnya bertolak pulang.

Awal dari pertemuan kami di Pantai Sawarna ini membawa ikatan persahabatan yang kami jalin hingga saat ini. Kami melakukan banyak agenda bermain dan trip bersama lagi di kemudian hari. Senang berkenalan dengan kalian semua : Icha, Dina, Agri, Ika, Achi, Kade, Aan, Fena, Duta, Dedi, Enggar, Ali, Sudrun dan Iam. Bahkan beberapa diantara kami, saat ini telah menikah. Mau dong nyusul...


---

Memulai dan menjaga persahabatan adalah hal yang sulit sedangkan menghancurkannya adalah perkara yang sangat mudah. Karena itu jagalah hubungan yang telah kita miliki saat ini.









Selasa, 30 Desember 2014

Kisah Pulau-Pulau Kecil di Utara Jakarta

Pagi-pagi sekali saya dan Icha berangkat dari rumah kos Icha di daerah Grogol-Jakarta Barat. Ya ya ya... kami akan melakukan trip yang murah meriah ke 3 pulau di utara Jakarta yaitu  Pulau Kelor, Cipir dan Onrust dalam satu hari saja. Ketiga pulau ini memiliki kisah sejarah dari jaman penjajahan Belanda long long time ago.

Kami bergabung dengan para peserta trip lain di TPI Kamal Muara. Dan ternyata peserta yang ikut dalam trip ini sangat banyak, jumlahnya sekitar 60 orang sehingga dibagi menjadi 3 shift. Tiap shift berisi sekitar 20 orang dengan didampingi satu pemimpin rombongan. Setiap shift masuk dalam satu perahu. Kami yang datang agak terlambat masuk ke shift ketiga dan harus menunggu teman lain yang lebih terlambat dari kami. Sedangkan dua shift sebelumnya sudah berangkat terlebih dahulu. 

Setelah semua berkumpul akhirnya kami pun menaiki perahu dan meluncur menuju lokasi pertama. Pulau Kelor. Perjalanan dari TPI Muara Kamal ke Pulau Kelor ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Dan ketika daratan Pulau Kelor mulai terlihat, saya pun bergumam "wow!". Ternyata dibalik carut marutnya Jakarta masih tersimpan daerah seindah ini, dengan laut yang masih berwarna biru muda bening dan pantai yang diselimuti pasir putih. Yang paling menonjol dari pulau ini adalah adanya bangunan benteng tua yang masih terlihat kokoh, yang membuatnya semakin terlihat indah.
 Pulau Kelor dari Laut dengan Pasir Putih yang Menawan

Pulau Kelor merupakan salah satu pintu masuk utama Indonesia pada jaman dahulu, itulah sebabnya dibangun benteng untuk pertahanan. Benteng ini bernama Benteng Martello yang didirikan oleh Batavia untuk menghadapi serangan dari laut pada abad 17-18. Benteng ini dibuat dengan meniru Benteng Mortella di Corsica, Perancis. Pancang-pancang yang dibuat di sepanjang pantai di depan benteng, konon fungsinya adalah sebagai tempat bersembunyi pasukan jika terjadi baku tembak.

Pulau yang memiliki luas sekitar 2 hektar ini, cocok sekali untuk menjadi lokasi bidikan kamera para pemburu keindahan alam. Anda pun dapat memasuki bagian dalam benteng yang masih terlihat kokoh, sambil membayangkan apa yang terjadi ratusan tahun yang lalu.
 
Bagian dalam Benteng Martello

Selain itu di atas Benteng Martello ini terdapat tanaman kaktus yang berukuran sangat besar. Kaktus ini dapat terlihat di bagian belakang benteng. Hebat ya, padahal Jakarta termasuk daerah yang memiliki curah hujan tinggi tetapi kaktus ini tetap bisa hidup dan tumbuh besar.

Kaktus di Puncak Benteng Martello

Kami pun melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya. Pulau Cipir. Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit dari Pulau Kelor. Sambutan yang pertama kami terima di pulau ini selain tulisan selamat datang adalah meriam/cannon berukuran besar yang dipergunakan sekitar tahun 1800-1810.
 

 Welcome to Cipir Island

Kesan yang saya dapat di pulau ini adalah.... Serem sih. Apalagi kalau malam hari. Saya sih mending gak berkunjung kalau sudah lewat sore. Di pulau ini terdapat reruntuhan dari RS Karantina Haji tahun 1911. Bangunan-bangunan tua tersebut menambah suasana mistis di pulau ini. Kami pun sempat beristirahat dan makan siang di pulau ini, karena terdapat satu warung yang sepertinya memang dibuka untuk memenuhi kebutuhan perut para pengunjung.
 
 
 Sisa Reruntuhan Bangunan RS Karantina Haji di Pulau Cipir


Setelah puas berfoto dan beristirahat kami melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir yaitu Pulau Onrust. Nama Pulau Onrust kabarnya berarti "tidak pernah beristirahat" atau dalam bahasa Inggris unrest. Pulau ini lagi-lagi menurut saya, tidak kalah mistis dengan Pulau Cipir.
Dermaga Baru di Pulau Onrust

Di Pulau Onrust terdapat museum dari bekas bangunan Belanda yang menyimpan berbagai barang-barang peninggalan Belanda dari jaman tahun 1600an. Pulau ini memiliki sejarah yang panjang. Awalnya pulau ini diduduki oleh raja-raja Banten, namun setelah masuknya Belanda dan dengan lihainya mereka melakukan perjanjian dengan penduduk lokal, lama-kelamaan Belanda mendirikan galangan kapal di pulau ini yaitu pada tahun 1613. Pada tahun 1800 saat Inggris melakukan blokade, semua bangunan di Pulau Onrust dimusnahkan. Kemudian pada tahun 1911 sama halnya dengan Pulau Cipir, Pulau Onrust juga dialihfungsikan menjadi Karantina Haji. Selanjutnya saat Jepang menguasai Indonesia, Pulau Onrust dijadikan penjara bagi para penjahat kelas berat.
 Guide Pulau Onrust
 Pecahan Barang-Barang dari Ratusan Tahun Lalu
Lubang yang Diperkirakan Terhubung dengan Terowongan Bawah Tanah

Di pulau ini juga terdapat banyak pemakaman. Dari pemakaman Belanda, pemakaman dari anggota Karantina Haji yang meninggal, hingga di kabarkan pula bahwa juga terdapat makam yang konon kabarnya merupakan makam dari pemimpin pemberontakan DI/TII yaitu Kartosoewirjo.  
 Makam Belanda
 Foto Bersama, Thanks for nice trip

Puas berkeliling pulau dan berfoto bersama, kami pun pulang kembali ke TPI Muara Kamal untuk kemudian menuju rumah maisng-masing. Itulah kisah sedikit kisah dari pulau-pulau kecil di Utara Jakarta yang memiliki banyak perjalanan. Semoga kita selalu mengingat bahwa Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Tidak melupakan Sejarahnya.