Translate

Kamis, 14 Mei 2015

One Day Trip Lumajang yang Mendebarkan Hati


Perjalanan ini awalnya dibuat karena Icha dan Dita adiknya sedang ada acara kondangan di Lumajang. Jadilah saya mengajak Amel, Niken dan Deni untuk jalan-jalan di sekitaran Lumajang.


Ada beberapa lokasi tujuan yang direncanakan untuk kami kunjungi di Lumajang. Lokasi tujuan utama adalah Puncak B-29 yang saat ini sedang booming dibicarakan. Kami sempat mendapat beberapa foto orang-orang yang pernah kesana dan sepertinya sangat menggiurkan. Tujuan kedua adalah air terjun, kami tidak terlalu memilih air terjunnya, yang penting searah dan teman Icha menyarankan untuk mengunjungi Air Terjun Kembar di daerah Senduro. Tujuan ketiga adalah Ranu Klakah dan Ranu Pakis yang letaknya bersebelahan dan tidak jauh dari Terminal Minak Koncar-Lumajang. Jadi niatnya dalam satu hari trip ini kami bisa mendapatkan beberapa lokasi wisata berbeda.

Karena tujuan utama kami adalah melihat sunrise di B-29, kami pun berangkat dini hari. Dari Jember kami tidak melewati Lumajang kota, kami langsung menuju Senduro. Dari Senduro tinggal mencari Pura Mandara Giri Agung, nah dari setelah itu tingal lurus terus dan sudah ada plang-plang yang menunjukkan arah ke B-29. Sehingga tidak sulit untuk ditemukan.

Untuk yang belum tahu, B-29 yang kami maksud bukanlah merk dari salah satu deterjen.  B-29 merupakan puncak tertinggi dari lautan pasir Bromo dengan ketinggian 2.900 mdpl. Saat fajar menjelang awan tebal akan terlihat sangat dekat dari Puncak B-29 karena itu lokasi ini disebut sebagai negeri di atas awan. Dari Puncak B-29 kita dapat melihat keindahan Gunung Bromo, Gunung Semeru dan Gunung Lemongan.

Menuju tempat parkir B-29 kita akan melewati jalan yang semakin lama semakin menanjak. Mobil di depan kami sempat agak susah untuk menanjak. Karena jalanan tidak terlalu lebar, driver kami memutuskan untuk berhenti sejenak dan minggir untuk menghindari mobil di depan kami kalau tiba-tiba mundur. Udara dingin sudah mulai terasa, rasanya seperti malam-malam buka kulkas trus ngadem, padahal udara malam saja sudah dingin.

Dan tibalah kami di suatu lokasi yang banyak sekali tukang ojegnya. Mereka ribut sekali mengelilingi mobil kami dengan sedikit memaksa agar kami naik ojeg. Kami memutuskan terus berjalan hingga melewati Gapura Desa Argosari dan parkir di sana. Dan para tukang ojeg pun mengikuti kami layaknya para fans mengikuti artis idamannya.

Jam 3 pagi kami diserbu para tukang ojeg yang menawarkan untuk naik ke Puncak B-29. Appaaah? Naik ojeg?? Dimana jiwa petualangnya??? Dan kami memutuskan naik ojeg karena memang sudah direncanakan demikian, dengan alasan waktu kami yang mepet untuk mengejar sunrise dan banyaknya lokasi lain yang harus dikunjungi dalam 1 hari.

Hasil tawar-menawar untuk perjalanan dari Gapura menuju Puncak B-29 pulang pergi adalah Rp 80.000/orang. Cukup mahal memang, tapi karena teman-teman yang pernah ke sana mengatakan harga ojeg pp berkisar antara Rp 60.000-100.000 ya sudahlah kami akhirnya yes aja. Kalau mas Anang?

Perjalanan yang semakin dingin pun dimulai. Saya diantar oleh salah satu abang ojeg yang mengendarai Mega Pro. Menurut si abang jarak tempuh menuju Puncak B-29 adalah 8 km. Yang mulai membuat jantung berdebar kencang bukanlah si abang ojeg, tapi jalanannya yang wow ajegile. Jalanan tanah dengan sangat sedikit bebatuan atau pun semen, ditambah hujan yang turun sejak sore hari, dan dibumbui dengan abang ojeg yang off road minggir-minggir di tepi jalan dengan sawah di bawahnya yang sangat terjal, mungkin kelerengannya antara 45-60o. Sebenernya saya pengen bilang sama abangnya “Pelan-pelan bang, saya belom kawin”, tapi saya takut abangnya keGe-eRan dan malah minta diajak kawin. Ya sudahlah saya ajak ngobrol saja abangnya, biar sok akrab dan saya gak diculik.

Kami sempat berjalan kaki saat si abang-abang ojeg kesulitan untuk melewati jalanan tanah becek itu. Icha sempat jatuh terpeleset dan lensa kacamatanya copot dari framenya, saya gak mau kalah, ikutan jatuh, ketika abangnya salah menahan motor di salah satu belokan yang memang licin. 

Saya yang takut terjadi hal-hal tidak diinginkan di Puncak B-29 meminta abangnya untuk berhenti di toilet Masjid sebentar. Untuk mengeluarkan panggilan alam. Di Masjid ini kami melihat banyak sekali para pendaki yang sedang beristirahat.

Perjalanan dilanjutkan, dan tidak jauh dari masjid, ada portal untuk penarikan retribusi masuk ke Puncak B-29, seharga Rp 3.000/orang. Murah sekali sodara... Dan di sini kami juga melihat polisi yang berjaga. Usut punya usut saya mendapat kabar bahwa di Puncak B-29 banyak ditemukan kondom berserakan sehingga sangat mengganggu para pengunjung. Berita selengkapnya http://www.tempo.co/read/news/2015/04/29/058662009/Dipakai-Kemah-Pelancong-Kondom-Berserak-di-Puncak-Bromo. Menyedihkan sekali muda-mudi perusak di muka bumi yang tidak bisa menjaga lingkungan ini.

Abang ojeg akhirnya menurunkan kami di pemberhentian terakhir. Sebuah lokasi yang banyak terdapat tukang jualan p*p mie dan minuman serta dilengkapi dengan kursi dari batang pohon. Hanya tinggal berjalan dengan sedikit menanjak sekitar 300 m, dan di Puncak B-29 ada di depan mata. Dan di depan mata kami gelap gulita. Sebenarnya ketika berangkat Amel membawa 3 buah senter. Tapi akibat kami riweuh dengan kehebohan si abang-abang ojeg, semua senter itu ketinggalan di mobil. Good job!
 Hanya Sependar Sinar Bulan ini yang Menerangi Kami

Kami duduk sambil memandangi bulan yang semakin tenggelam di sebelah barat yang menghadap ke arah Gunung Bromo. Jam tangan saya menunjukkan pukul 03.40 WIB. Masih cukup lama hingga fajar mulai menampakkan dirinya. Emang lo udah sampe mana, Jar? Kok lama bener sih.

Dan Amel mengeluarkan senjata pamungkas, yaitu bekal berupa ayam goreng krispy yang tidak lagi krispy plus anyep akibat cuaca dingin. Namun kami tetap bersemangat menikmati sambil memandang bintang-bintang yang bertebaran di atas langit.

Duduk sambil makan ternyata tidak mengurangi rasa dingin yang menyerang. Mau nebeng api unggun tapi malu. Kami hanya bisa memandangi orang-orang yang menyalakan api unggun agar mereka sadar kode dari kami. Bahwa kami kedinginan. Butuh kehangatan. Yang belum kami dapatkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Opo iki, kok ambigu???

Alhamdulillah salah satu bapak-bapak menawari kami untuk ikut bergabung dalam api unggunnya. Terima kasih bapak beserta serombongan keluarganya. Semoga kebaikanmu dibalas kebaikan lainnya.

Ketika di ufuk timur mulai terlihat secercah cahaya, kami pun berpamitan pada keluarga besar si Bapak. Dan langsung ngacir mencari lokasi yang tepat untuk mendokumentasikannya. Awan di depan kami benar-benar menunjukkan bahwa kami sedang berpijak pada negeri di atas awan. Yeaah!

Fajar yang Mulai Menampakkan Secercah Cahaya
 
Negeri di Atas Awan (Sayang Kameranya Pas-pasan)

Unfortunately... Matahari tidak mau bersinar terang. Kabut tebal datang menghampiri. Sesosok gunung Lemongan di sebelah timur yang sempat kami lihat sebelumnya, sesosok Gunung Semeru di tenggara dan sesosok Gunung Bromo, semuanya lenyap tertutup kabut. Kami pun menunggu... 5 menit... 10 menit... 15 menit... Tidak terjadi perubahan.
Kabut Tebal yang Menyelimuti Puncak B-29

Karena capek menunggu kami akhirnya turun dulu ke bawah untuk makan sambil berharap kabut segera berlalu dan pemandangan indah segera tersaji. Makan sambil numpang menghangatkan diri di perapian ibu pemilik warung. Setengah jam berlalu, dan akhirnya kabut mulai menyingkir. Kami bergegas membayar semua makanan kami. 
Makan Mie Sambil Menghangatkan Diri
(Maka Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan)
 
Warung-Warung Menuju Puncak B-29



Dan begitu keluar dari warung, pemandangan indah dari Gunung Bromo sudah tersaji di depan kami. How beautiful it is! Gunung Bromo yang terletak pada ketinggian 2.392 mdpl ini berdiri dengan indah dihiasi asap yang berasal dari kawahnya. Hamparan lautan pasir yang luas memberi goresan indah pemandangan. 

Bromo In The Morning
 
Sebenarnya bisa saja kita langsung menuju Gunung Bromo yang sudah tersaji di depan mata ini. Bagaimana caranya? Terjun saja ke bawah, maka sampailah di lautan pasir Gunung Bromo. Tapi karena saya masih waras dan bukan pecinta X-Games dan belom kawin pulak, saya tidak berusaha untuk mencobanya.
Foto Keluarga dengan View Bromo

Saat kembali menaiki Puncak B-29, pemandangan Gunung Semeru juga mulai terlihat. Dengan diselimuti awan, Gunung Semeru yang memiliki ketinggian 3.676 mdpl terlihat indah pagi hari itu. Sayangnya view Gunung Semeru terlihat sangat jauh, walaupun kami sudah berpindah-pindah spot beberapa kali.
Undakan Menuju Puncak B-29 yang Akhirnya Terlihat

 Pinjem Bunga Abadi Jualan Bapak-Bapak

 

Gunung Semeru Nun Jauh

Dari Puncak B-29 juga terlihat Gunung Lemongan/Lamongan yang merupakan bagian dari Pegunungan Iyang-Argopuro di sebelah timur. Gunung dengan tinggi 1.651 mdpl ini terlihat paling jauh diantara dua gunung yang saya sebutkan sebelumnya, karena lokasinya memang berada di Lumajang bagian timur, cukup jauh dari lokasi Puncak B-29.
Gunung Lemongan Tampak dari Kejauhan
 
Narsis Doeloe
 
Ilalang tinggi yang terdapat di Puncak B-29 juga menjadi salah satu spot kami untuk berfoto. Dengan berbagai macam gaya, kami yang berfoto layaknya foto model. Dengan berbagai macam kamuflase, kami sok-sokan sedang berada si Sumba.
Ilalang Bak di Sumba
Ini Indonesiaku (Bendera Dapet Minjem)
Puncak Pendakian Kami (Gaya Selangit Padahal Ngojeg)
Perhatikan Properti yang Sama dari Ketiga Model
Duh... Jaga Kebersihan Dong, Bang
 
Waktu menunjukkan jam 08.30 ketika kami memutuskan untuk turun karena masih ada beberapa lokasi yang kami rencanakan untuk dikunjungi. Dalam perjalanan mesra turun Puncak B-29 bersama si abang ojeg saya baru paham kondisi jalanan sebenarnya yang kami lalui. Sawah terjal dengan kelerengan sangat miring yang saya ceritakan sebelumnya ternyata ditanami bawang pre yang sangat subur. Rasanya tukang martabak akan sangat senang melihatnya. Saya sempat minta si abang ojeg berhenti di dekat portal karena pemandangan Gunung Semeru terlihat sangat gagah dari sini.
Hello Semeru!
 
Hamparan Bawang Pre
 
Usai berfoto di Gapura Desa Argosari, kami melaju melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan kami sempat berfoto karena Pemandangan Gunung Semeru terlihat begitu menggoda bagai melambai-lambai pada kami mengajak selfie bareng. Groufie deh.
 Gapura Desa Argosari
With Semeru (far far away)
Bunga Matahari di Kanan-Kiri Jalan Menuju Puncak B-29
Semeru Mengeluarkan Asap di Puncaknya Ketika Kami akan Meninggalkan Argosari

Tujuan kedua kami adalah Air Terjun Kembar, yang menurut Erza, teman Icha lokasinya tidak jauh dari pertigaan pasar Senduro masuk sedikit. Namun ketika kami bertanya pada penduduk sekitar banyak yang tidak mengetahui lokasi yang dimaksud. Sampai saya tertidur di dalam mobil dan terbangun lagi mungkin sekitar setengah jam, ternyata kami belum juga sampai lokasi yang dimaksud. Walhasil masuklah rombongan kami ke dalam desa dan semakin desa atas petunjuk orang-orang yang mengarahkan kami ke air terjun. Mobil pun harus diparkir karena medan jalan yang tidak memungkinkan untuk dilaluinya. Dan kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
 Jalan Setapak yang Kami Lalui (Tetep Bawa Cemilan)

Kami berada sangat jauh dari air terjun tujuan kami. Dan berdasarkan petunjuk alam yang kami lihat, air terjun yang kami eksplor siang itu berada di lereng Semeru. Bahkan setelah kami mulai berjalan ada jalan pecah yaitu lurus menuju air terjun dan belok kiri menuju Ranu Pane. Fix nyasar jauh!

Karena sudah kepalang tanggung, kami pun tetap melanjutkan berjalan kaki. Setapak-demi setapak kami lalui, dan dengan seenaknya sepeda motor berlalu lalang di jalan yang kecil dan berbatu itu mendahului kami. Ingin sebenarnya saya berteriak “Abang... Nebeng dong!!”. Sayangnya mereka semua berpasangan, dan saya tidak ingin menjadi orang ketiga. 
Sepanjang Jalan Kami Bertemu Ibu-Ibu yang Pulang Ngramban 
(Mencari Rumput dan Tanaman untuk Ternak) 

Sebenarnya jalanan tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 3-4 km dengan jalanan berbatu tapi tidak terlalu sulit dilewati. Namun mungkin saya keburu boring saat perjalanan menuju air terjun ini sehingga perjalanan berangkat itu terasa begitu jauh. Sepanjang jalan kami melewati kebun kopi dan hutan bambu serta aliran air sungai dari air terjun.
 Aliran dari Air Terjun
Dita & Coffee

Sekitar setengah jam berjalan kaki, sampailah kami di loket tiket masuk. Untuk masuk lokasi ini dikenakan biaya Rp 3.000/orang. Dan di sinilah kami baru tau bahwa air terjun yang kami temui bernama Watu Lapis. Air terjun ini baru diresmikan sebagai tempat wisata pada bulan Mei 2013 oleh Bupati Lumajang.
 Pintu Masuk Air Terjun Watu Lapis yang Seadanya

Dari tempat membayar tiket, hanya perlu berjalan kaki sekitar 300 m, dan tampaklah si air terjun Watu Lapis nan mempesona. Air terjun ini menurut beberapa orang memiliki ketinggian 30 m. Air yang jatuh terasa dingin menyegarkan, pemandangan hijau dari tanaman-tanaman yang asri juga memperindah suasana di sana. 
This Is It, Watu Lapis Waterfall

Sebenarnya kami sudah membawa baju ganti. Apalah daya cuaca mendung dan tidak ada kamar bilas disini. Lokasinya memang masih sangat alami. Hanya terdapat beberapa tempat untuk duduk yang banyak digunakan orang untuk menyimpan tas. Belum ada toilet. Dan penjual hanya 1 orang.
Taman yang Ditambahkan Oleh Penduduk untuk Menikmati Air Terjun
 
Tempat dari Kayu yang Digunakan Wisatawan untuk Menyimpan Barang Bawaan
 
Cuaca semakin mendung dan gerimis mengundang. Ketika rintik-rintik hujan mulai membasahi kawasan air terjun ini, kami segera beranjak meninggalkan lokasi untuk menghindari terjebak dalam hujan di dalam hutan. 
Agenda Rutin tiap Lokasi
 
Perjalanan kami belum berakhir begitu saja. Setelah makan siang yang terlambat, kami melanjutkan perjalanan menuju Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Kedua ranu ini letaknya berdekatan dan terletak tidak jauh dari jalan utama yang menghubungkan Jember-Lumajang-Probolinggo. Akses untuk menuju 2 ranu ini sangat mudah.

Kami mengunjungi Ranu Klakah terlebih dahulu. Untuk masuk Ranu Klakah tiket masuk per orang adalah Rp 3.000/orang, mobil juga Rp 3.000, jadi dia dianggap transformer. Di Ranu Klakah juga terdapat taman bermain, tapi tidak kami kunjungi karena terlalu mainstream. Bagi yang belum paham apa itu ranu, ranu adalah sebutan danau untuk di daerah Jawa. Di Lumajang terdapat 5 ranu, yaitu : Ranu Klakah, Ranu Pakis dan Ranu Bedali yang terletak di kaki gunung Lamongan dan biasa disebut segitiga ranu di Lumajang; serta Ranu Pane dan Ranu Kumbolo yang terletak di kaki gunung Semeru.
Pintu Masuk Ranu Klakah
 
Ranu Klakah yang kami kunjungi adalah danau yang dimanfaatkan untuk menangkap dan membudidayakan ikan. Ada beberapa penjual ikan maupun warung ikan bakar di sekitarnya. Selain itu di danau ini juga disediakan sepeda air bebek-bebekan yang bisa disewa untuk berkeliling danau.
 
 Ranu Klakah & Keramba
Sang Penjala Ikan

Kami pun melanjutkan ke lokasi terakhir hari itu yaitu Ranu Pakis. Ranu Pakis letaknya berdampingan dengan Ranu Klakah. Harga tiket masuknya lebih murah yaitu Rp 2.000/orang. Berbeda dengan Ranu Klakah yang memang sudah disulap menjadi lokasi wisata, Ranu Pakis terlihat lebih alami. Dari arah pintu masuk terlihat bahwa Ranu Pakis terletak di bawah, sehingga kita bisa mendokumentasikannya dari ketinggian.
Ranu Pakis di Ketinggian
Welcome to Ranu Pakis
 
Di Ranu Pakis ini banyak penduduk dengan kegiatan sehari-harinya yang memanfaatkan danau ini. Ada bapak-bapak lagi mandi, ibu-ibu lagi mandi, anak-anak lagi mandi, dan tiba-tiba Deni hilang dari rombongan kami untuk beberapa waktu. Agak mencurigakan! Hahahhaa... ampun Den, iya iya lagi sholat kok.
Nunggu Deni yang Tiba-Tiba Menghilang
 
Tidak berbeda jauh dengan Ranu Klakah, Ranu Pakis juga dimanfaatkan untuk menangkap dan membudidayakan ikan oleh penduduk sekitar. Dengan luas 112 Ha, ranu ini dikelola oleh DPU Pengairan Propinsi Jawa Timur. Di Ranu Pakis ada persewaan getek (bambu yang disusun hingga bisa digunakan untuk transportasi di air), harga sewa getek ini hanya Rp 5.000. Hanya saja tiap getek hanya bisa dipergunakan 1 orang. Lha kami cara naiknya saja nggak bisa, tar malah kejungkal sayang barang bawaan. Akhirnya kami memutuskan sewa perahu fiber saja. Harga sewanya cukup murah yaitu hanya Rp 30.000 dan bisa diisi hingga 8 orang. Perahu ini membawa kami berkeliling danau, menikmati setiap sudut sambil menunggu sunset.
Deni yang Malu-Malu Mau Dikelilingi Gadis-Gadis Cantik
 Berpapasan dengan Bapak Pengguna Getek yang sedang Memancing Ikan
Senja Menjelang di Ranu Pakis
See You Sunset

 Walaupun melelahkan, namun hari itu berlangsung dengan menyenangkan. Dan semua lokasi tujuan wisata yang kami rencanakan dapat dilalui dan dinikmati. Terima kasih Lumajang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar