“Nada-nada yang indah, slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku, takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci, tlah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup, telah dia berikan
Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang
Ooh Bunda... ada dan tiada dirimu kan selalu
Ada di dalam hatiku”
Minggu,
30 November 2014
“Lagi ngapain, nak?” tanya ibu dari
seberang telpon.
Kami pun mengobrol ngalor ngidul. Aku
menceritakan bahwa tengah malam baru sampai dari Batam. Ibu pun bercerita bahwa
subuh itu baru tibadari Denpasar setelah mengunjungi dua cucu kesayangannya.
Tak ada pertanda atau firasat apapun yang
kurasakan. Tanpa kusadari, waktu ternyata berputar sangat cepat.
Selasa,
2 Desember 2014
Sore itu sepulang dari bekerja, mbak Lia
menelpon.
“Dimana, tin? Sudah dihubungi ayah?”
tanya mbak Lia.
“Di stasiun Tanah Abang. Baru mau pulang
ke Bogor. Belom. Kenapa, mbak?” jawabku.
“Ibu pingsan lagi.”
Aku tercengang.
Ibuku memang divonis jantung koroner
akibat diabetes tahun 2005 silam, namun alhamdulillah kondisinya terus membaik.
Ramadhan tahun 2013 kondisinya agak kambuh, dan sempat pingsan hingga dirawat
di RS dua kali. Namun itu juga alhamdulillah membaik.
Kucoba untuk menghubungi ayahku. Telepon
diangkat tapi ayahku tidak banyak bicara, kutanya apakah perlu kutelpon
ambulans. “Sudah mau diantar sama mas Dicky, tetangga sebelah.” Dan terdengar
suara ibu yang bernafas dengan terengah-engah.
Tanpa berpikir panjang langsung
kuputuskan untuk pulang ke rumahku di Jember. Kucoba untuk berpikir jernih,
akhirnya aku pun menuju bandara dan segera menghubungi Meler untuk dibookingkan
tiket.
Setelah sampai di Soetta kembali kuhubungi
ayah. “Ibu sudah masuk ruang rawat inap, sebelumnya di IGD. Sekarang sedang
istirahat.” jawab ayahku. Aku agak tenang mendengarnya. Dengan selalu berdoa
dan berharap Allah memberikan kekuatan dan kesembuhan untuk ibuku seperti
sebelum-sebelumnya.
Sesampainya di Surabaya kembali kuhubungi
kedua kakakku dan ayahku, kami pun ber konferensi di telepon. Ayah mengatakan
bahwa ibu di rawat di ruang yang digunakannya tahun lalu. Hatiku agak adem
mendengar kondisi ibu. Aku dan kedua kakakku memutuskan untuk pulang
bergantian. Karena kasian juga kalau kami datang bersamaan dan juga pulang
bersamaan, nanti tidak ada yang menemani ibu dan ayah. Ya, anak ibu dan ayahku
semuanya berada di luar kota. Mbak Rosa kakak pertamaku tinggal di Gresik,mbak
Lia kakak keduaku tinggal di Denpasar dan aku sendiri di Bogor.
Rabu,
3 Desember 2014
Aku menuju Jember dengan bis malam. Aku
sempat menangis dan dalam doaku aku berharap Ibu tetap kuat dan kembali sehat.
Aku belum banyak membahagiakanmu, bu. Aku belum menikah seperti yang ibu mau.
Aku belum menjadi dosen seperti yang ibu inginkan. Walaupun ibu tidak pernah
mengungkapkan semuanya secara tersurat, tapi aku marasakannya secara tersirat.
Ayahku menghubungiku sekitar jam 3 pagi
namun tidak terdengar olehku karena aku tertidur. Subuh aku tiba di Jember dan
langsung menuju RS tempat ibu di rawat. Karena sudah pernah kesana tahun lalu
aku berjalan santai dan menuju kamar melalui pintu belakang. Kamar yang muat
untuk dua orang itu memiliki dua pintu, yaitu pintu depan dan pintu belakang.
Langsung kucari sosok ibuku. Tiba-tiba aku shock dan histeris, berteriak
memanggil-manggil suster jaga dan membuat kehebohan di RS pagi itu. Kulihat
ibuku berlumuran darah di sekitar mulutnya dan bekas darah terlihat di area
kasur bagian kepalanya, ibuku telah dipasang oksigen, selang, double infus,
kateter dan entah apalagi.
“Baru datang ya, mbak?” tanya suster
jaganya.
Ayahku muncul dari arah pintu depan.
Rupanya ayahku berniat mencegat agar bisa menjelaskan kondisi ibu, tapi aku
telanjur masuk dari pintu belakang dan membuat kehebohan ini. “Coba temui
suster kepalanya dan minta dijelaskan tentang kondisi ibu.” ucap ayahku.
Kutemui suster kepala. Dia menjelaskan
tentang kondisi ibuku. Ibuku terserang stroke di tubuh bagian kanan. Urea di
ginjalnya terlalu tinggi. Gula darahnya tidak stabil. Dan dini hari ibu
mengalami pendarahan dari mulut akibat lambung yang luka. Suster menjelaskan
bla bla bla tapi tidak ada lagi yang masuk ke otakku. Inti dari penjelasan
suster adalah bahwa ibuku saat ini dalam kondisi kritis. Aku hanya bisa menahan
air mata.
***
Kuhubungi mbak Rosa dan mbak Lia, meminta
mereka untuk segera pulang karena ibu dalam kondisi kritis. Kuminta ayah pulang
ke rumah untuk beristirahat, karena kelelahan terlihat jelas di wajahnya yang
tidak tidur semalaman menjaga ibu.
Aku pun menghapus air mata dan masuk ke
ruangan ibu. Ibu selalu memperlihatkan kondisi tegar di saat apapun, karena itu
aku tidak ingin menangis di depan ibu. Ibu dalam kondisi tidak sadar, dan itu
berlangsung sejak pingsan kemarin sore. Tapi kulihat ada gerak dari tangan dan
kaki bagian kiri. Kucoba mengajaknya bicara karena aku yakin beliau mendengar
walaupun tidak dapat bereaksi.
“Bu, Titin pulang. Katanya ibu pengen Titin
pulang. Ini Titin udah di sini. Ibu cepet sembuh, ya” kataku sembari memegang
tangan kiri ibu. Kucium keningnya dan masih kurasakan aroma darah. Hatiku sakit
sekali mendengar suara napas ibu yang tidak beraturan, melihat sisa-sisa
pendarahan dini hari tadi, melihat lemahnya kondisi ibu. Ibuku yang kuat, yang
tegar, yang sabar, yang selalu menyayangi kami.
Ibuku memang orang yang kuat, apapun
sakit yang beliau rasakan sangat jarang sekali mengeluh. Tahun 2005 dua kali
masuk RS, tahun 2013 juga dua kali masuk RS tapi tak sedikit pun beliau
mengeluh atau menceritakan sakitnya. Ibuku emang orang yang tegar, keluarga
kami pernah terpuruk di tahun 2005 hingga 2007 karena tertipu orang hingga
ratusan juta, namun ibu yang saat itu masih dalam kondisi sakit pun selalu
tegar menghadapi semuanya. Bahkan saat itu ibu yang dalam kondisi sakit harus
makan seadanya karena untuk makan saja saat itu kondisinya sangat sulit. Ibuku
memang orang yang sabar, sabar dalam menghadapi kami anak-anaknya, sabar dalam
menunjukkan hal positif pada anak-anaknya, sabar dalam mengajari kami mengenai
segala sesuatu, dan sabar pula mengahadapi orang lain sehingga tidak sedikit
tetangga ataupun teman kerja bahkan muridnya yang hobi curhat pada ibu. Ibuku
yang dengan semua kasih sayangnya telah mengandung kami 9 bulan lamanya, yang
telah menyusui kami, yang karena kami tidak bisa tertidur di malam hari, yang
karena teringat kami selalu mendoakan kami agar selalu mendapat yang terbaik. Ibuku
yang ketika kami pulang, selalu
memasakkan makanan kesukaan kami. Ketika kami akan kembali ke luar kota ibu
akan membuatkan ini itu sebagai bekal. Ketika kami sakit, ibu selalu tidur di
samping kami agar mengetahui jika tengah malam kami terbangun atau ada sesuatu
yang kami butuhkan. Ketika kami rapuh ibu yang selalu memberi kekuatan secara
psikis. Bahkan ketika kami terpuruk atau memerlukan bantuan secara finansial
ibu juga yang selalu mengusahakannya untuk kami. Apapun dilakukan untuk kami
anak-anaknya.
Kulantunkan ayat-ayat suci untuk
memberikan ketenangan pada diriku sendiri dan memberikan kekuatan pada ibu.
Kuajak ibuku bicara, walaupun tidak ada reaksi darinya. Kutahan air mataku
karena aku tidak boleh terlihat lemah di depan ibuku yang kuat. Kumohonkan pada
Allah agar memberikan kekuatan, mengangkat sakit yang dirasakan ibu dan
memberikan yang terbaik.
***
Pagi itu sekitar jam 8 pagi tetangga
datang menjenguk. Kubisikkan pada ibu “Bu, ditengokin sama tetangga-tetangga
nih. Ibu cepet sembuh ya.”
Tetangga pun bengong melihat aku yang
lusuh. Memang, karena aku masih dengan kostum yang kugunakan dari kemarin pagi
saat berangkat kerja. “Mbak Titin ayo mandi dulu, mumpung ada ibu-ibu disini.
Ibu biar kami yang jaga dulu.” paksa seorang tetanggaku. “Mbak titin juga belum
makan kan, ini dibelikan ya. Mbak Titin harus kuat karena harus jaga ibu.”
Tidak hentinya aku bersyukur atas apa
yang telah Allh berikan pada keluarga kami termasuk tetangga yang baik. Aku pun
bergegas untuk mandi. “Bu, Titin mandi sebentar ya. Ibu sama budhe-budhe dulu.”
pamitku pada ibu, sebelum masuk kamar mandi.
Ketika hampir selesai mandi kudengar
keributan di dalam kamar. Aku pun bergegas untuk keluar. Kulihat tiba-tiba
banyak suster berdatangan di kamar itu. Kuhampiri ibuku. Oksigennya sudah
dilepas. Aku pun bersimpuh dekat kepala ibuku sambil mencoba mencari detak di
nadi dan lehernya. Dokter jaga pun memerintahkan semua orang untuk minggir tapi
tetap membiarkan aku bersimpuh di pojok ruangan di samping kepala ibu sambil memandangi wajahnya. Wajahnya yang
begitu tenang. CPR coba dilakukan sebanyak tiga kali dan hasilnya menunjukkan
hal yang sama. Garis Lurus. Mereka pun mulai berkemas.
Antara menjadi bodoh dan tidak percaya
aku berucap “Ibu saya gimana, Dok”.
“Mohon maaf, kami
sudah melakukan apa yang kami bisa. Tapi Allah berkehendak lain” jawab Dokter
itu yang sepertinya memang sudah sesuai SOP.
Aku terpaku. Terdiam. Hening.
***
Aku meletakkan tangan ibu di pipiku,
sambil bergumam. “Bu, ibu sudah gak sakit ya. Allah sudah angkat sakitnya ibu.
Ibu sekarang udah sehat...” Dan wajahku terasa panas menahan butiran kristal
yang siap tumpah.
Ayah terdiam berdiri di depanku. Sikapnya
sangat tegar. Itulah yang selalu ditunjukkan sosok ayahku, karena dialah
satu-satunya lelaki di rumah.
Innalillahi wa inna illaihi rajiun.
Selamat berpulang ke Rahmatullah, bu. Semoga Allah mengampuni segala
dosa-dosamu, semoga Allah menerima semua amal ibadahmu, semoga Allah memberikan
ketenangan dan penerangan di dalam kuburmu dan semoga Allah menempatkanmu di
sisi terbaik-Nya.
***
Aku berusaha tetap tegar dan masih duduk
memangdangi wajah ibu. Hingga seorang suster datang membuyarkan semuanya. Dia
menanyakan keluargajenazah untuk mengurus administrasi di RS. Aku pun berjalan
menuju kasir.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Kubaca
nama yang tertera “mbak Rosa”. Kuangkat telpon dan entah bagaimana tiba-tiba
tangisku pecah untuk pertama kali. Bu... aku menangis dan tidak peduli dengan
tatapan orang di sekitarku. Aku yang selalu sombong untuk memperlihatkan air
mataku, ternyata tidak kuat juga menahan ini semua.
***
Bu... ketika kita sampai di rumah dengan
diantar mobil ambulans, tetangga sudah membersihkan rumah kita, bersiap
menyambut kedatanganmu dan menguruskan semua hal. Aku dan ayah hanya duduk
untuk menemui tamu. Rumah kita penuh bu, tenda depan rumah yang entah sejak
kapan ada di sana, ruang tamu, ruang tengah, ruang belakang dan paviliun, semua
orang bersiap untuk mengantarmu. Banyak orang tidak percaya dengan kepergianmu,
bu. Mereka masih jelas mengingat bahwa hari Selasa ibu masih beraktivitas
seperti biasa dari pagi hingga sore, bahkan ibu sempat berkunjung ke SMA 2
tempat ibu mengajar dulu sebelum akhirnya pensiun tahun 2013. Apakah itu salam
terakhirmu dan pamit akan kepergianmu, bu?
Aku menghubungi mbak Lia dan masuk kamar.
Kutanyakan pada mbak Lia ikhlaskah jika ibu dimakamkan tanpa menunggu
kedatangannya karena dia diperkirakan baru datang ba’da isya. “In syaa Allah
aku ikhlas, Tin. Biar aja ibu berangkat dulu, kasian kalau terlalu lama nunggu
aku” begitu jawabnya.
Mbak Lia mengucapkan kalimat yang membuat
tangis kedua ku pecah tak tertahankan. “Tante... mbak Kinan marah sama bunda.
Katanya bunda jahat karena Kinan gak boleh ngobrol sama Yang Ti”.
***
Siang itu ba'da dhuhur, aku dibimbing dan
ditemani oleh beberapa orang ibu pegajian dan tetangga untuk memandikanmu. Setelah
selesai dimandikan dan dikafani, aku meminta agar wajahmu tidak ditutup
terlebih dahulu agar para pelayat dapat melihatmu untuk terakhir kalinya.
Wajahmu begitu teduh, bu. Dan aku beberapa kali menghampiri untuk menciumimu.
Mbak Rosa dan suaminya serta lek Tatik
dan suaminya tiba di rumah setelah ibu tidur manis di keranda. Lek Tatik adalah
panggilanku untuk adik ibu satu-satunya, jaraknya dengan ibu sangat jauh yaitu
17 tahun, sehingga lebih mirip menjadi anak ibu. Kami berpelukan sangat erat,
tubuh ini sesak seperti mau meledak.
Bu, sebagian tamu melakukan shalat jenazah di rumah, aku juga mengikutinya. Ketika orang telah selesai sholat Ashar, budhe Sungkono menanyakan padaku" Mbak Titin, ibu saya tutup ya" aku mengangguk. Aku melihat semua orang mengurus ini itu begitu cepat. Ketika kerandamu akan dibawa, entah kenapa aku seperti tidak kuasa berdiri. Aku menangis bu, aku memanggilmu dan aku mengucapakan kalimat yang membuat semua orang menghampiri dan menenangkanku "Ibu... Titin ikut, bu...". Aku tau ini tidak benar tapi itu seperti terucap begitu saja.
Aku, mbak Rosa dan Lek Tatik mengantar
kerandamu sampai depan rumah. Dan kau pergi diantar ayah, mas Lukman dan para
pelayat laki-laki untuk disholatkan di Masjid dan kemudian dikebumikan.
“Betapa kau
sangat berarti
Dan bagiku kau
takkan pernah terganti
Kaulah ibuku...
cinta kasihku
Terima kasihku
takkan pernah terhenti
Kau bagai
matahari, yang slalu bersinar
Sinari hidupku
dengan kehangatanmu”
Bu..., kami menangis bukan karena kami
tidak rela atau tidak mengikhlaskanmu. In syaa Allah kami semua ikhlas karena
inilah jalan terbaik yang telah Allah siapkan untuk dirimu. Hanya saja
terkadang dada ini terasa sesak ketika mengingat semua kebaikan yang telah kau
lakukan untuk kami.
Hari itu adalah hari tersingkat aku
bertemu ibu. Tapi hari itu serasa hari paling lama dalam hidupku untuk akhirnya
harus melepas ibu...
Kamis,
4 Desember 2014
Pagi-pagi sekali kami pergi mengunjungi rumah barumu, bu. Butiran klistal di mata, tak sanggup kami tahan. Bu... kami akan selalu mengenangmu. Kami akan mengikuti kebaikan yang sudah ibu lakukan dan ajarkan. Kami akan mencoba menjadi anak yang lebih baik lagi.
Pagi-pagi sekali kami pergi mengunjungi rumah barumu, bu. Butiran klistal di mata, tak sanggup kami tahan. Bu... kami akan selalu mengenangmu. Kami akan mengikuti kebaikan yang sudah ibu lakukan dan ajarkan. Kami akan mencoba menjadi anak yang lebih baik lagi.
Ketika sampai rumah dan masuk kamar
belakang, kulihat baju batik madura berwarna merah yang diceritakan orang-orang
sebagai baju yang ibu pakai ketika berkunjung ke SMA 2 hari Selasa kemarin. Ketika
aku masuk kamar ibu, kulihat koran yang sudah dibentuk menjadi pola baju untuk
kau buat menjadi baju untuk cucu-cucumu. Ketika aku masuk ke dapur melihat
semua yang ada di dapur selalu aku merasa ada sosok ibu disana. Ketika kubuka
kulkas dan freezer kulihat segala macam bumbu yang kau buat dan awetkan untuk
lebih mudah memasak. Bu... rumah ini semakin sepi tanpa kehadiranmu. Aku tidak
lagi bisa bertanya berbagai macam hal kepadamu, aku tidak bisa lagi
menceritakan ini itu kepadamu. Terima kasih atas segalanya, bu. Dan maafkan aku
yang belum bisa menjadi anak yang baik untukmu.
Jumat,
12 Desember 2014
Bu, Jumat malam itu aku kembali ke Bogor untuk menyelesaikan sisa pekerjaan yang kutinggalkan. Aku merasa ada yang kurang. Biasanya ibu dan ayah akan mengantar aku sampai depan rumah. Hari itu hanya ayah yang mengantarku sampai depan rumah, dan hanya ayah yang memeluk dan menciumku. Di dalam travel yang membawaku ke bandara kutahan butiran air mata yang siap meluap di pipiku. Bu... ayah memberiku sebuah buku. Kata ayah “Dibaca ya selama perjalanan, biar ada gambaran perjalanan ibu”. Ayah pasti paham sikapku yang selalu sok kuat.
Bu, Jumat malam itu aku kembali ke Bogor untuk menyelesaikan sisa pekerjaan yang kutinggalkan. Aku merasa ada yang kurang. Biasanya ibu dan ayah akan mengantar aku sampai depan rumah. Hari itu hanya ayah yang mengantarku sampai depan rumah, dan hanya ayah yang memeluk dan menciumku. Di dalam travel yang membawaku ke bandara kutahan butiran air mata yang siap meluap di pipiku. Bu... ayah memberiku sebuah buku. Kata ayah “Dibaca ya selama perjalanan, biar ada gambaran perjalanan ibu”. Ayah pasti paham sikapku yang selalu sok kuat.
Beberapa hari pertama di Bogor aku selalu
mengenangmu. Aku ingat bulan April lalu saat ibu berkunjung ke rumah baruku.
Ibu ingin menengok kondisi rumahku di Bogor. Bu... rumah ini kudapat dari ibu.
Bahkan aku masih memiliki hutang pada ibu puluhan juta rupiah. Tapi setiap kali
aku punya rejeki dan mencicil utangku, ibu malah berterima kasih. Bahkan
sebagian perabotan dapur ibu yang belikan untukku. Aku tidak tahu apalagi yang
harus kutulis tentangmu. Terlalu banyak bu, dan sesak sekali rasanya.
Bu... Kinan belum paham kalau ibu sudah
meninggal. Ketika menelponku dia sering bertanya “Tante Titin... Yang Ti nya
sudah sembuh?”. Pertanyaan polos yang sering menyiksaku.
Senin,
22 Desember 2014
Bu... ini pertama kalinya kami merayakan hari ibu tanpa menghubungimu. Sesak sekali rasanya dada ini, bu. Dan kuputuskan tidak pergi kemanapun hari itu karena aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk mengenangmu.
Bu... ini pertama kalinya kami merayakan hari ibu tanpa menghubungimu. Sesak sekali rasanya dada ini, bu. Dan kuputuskan tidak pergi kemanapun hari itu karena aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk mengenangmu.
Bu... aku masih sering menangis ketika
mengingatmu. Saat bersama teman-teman semua itu bisa teratasi, namun saat aku
sendiri di rumah atau ketika aku sedang sendiri mengendarai motor, aku tidak
bisa menahannya, bu.
Oiya bu, komunitas Buku Berkaki yang digawangi om Ali
dan Icha mengajak menulis hal-hal tentang ibu untuk memperingati “Hari Ibu” dan
aku juga menulis untuk mengenangmu. Saat menulisnya, tidak terhitung tissu yang
kugunakan untuk mengusap air mataku, tapi aku tetap menulis, bu. Aku ingin
semua orang tau bahwa waktu bukan milik kita. Allah lah sang pemilik waktu.
Kita hanya bisa melakukan yang terbaik, sebelum waktu kita di dunia berhenti. Dan semoga kisah
tentangmu bisa membuat orang lain lebih menyanyangi ibunya, agar tidak timbul
penyesalan. Terkadang ada hal yang aku sesali, namun aku sadar itu tidak akan
merubah apapun. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah berbagi cerita, berusaha
menjadi lebih baik dan mendoakanmu.
Minggu,
8 Februari 2015
Aku pulang ke rumah, bu... Ini adalah
kepulangan yang kujanjikan pada ibu. Aku akan pulang untuk 2 atau 3 bulan,
berlibur sembari menunggu pekerjaan baru datang.
Biasanya sosok ibu selalu menunggu di kursi
ruang tamu saat kukatakan aku akan pulang. Malam itu aku tidak menemukan sosok
ibu.
Bu... malam itu aku bermimpi tentang ibu.
Dan saat terbangun aku menjadi linglung, aku bingung ibu masih ada atau sudah
pergi. Aku berkeliling rumah mencari ibu. Tapi aku tidak menemukanmu, sampai
akhirnya aku tersadar bahwa ibu memang benar-benar sudah pergi.
Sabtu,
14 Februari 2015
Hari itu buku yang memuat tentang sosok
ibu launching di Jakarta, bu. Kisahku tentangmu menjadi cerita pembuka. Aku
senang namun sedih. Senang karena dapat berbagi dengan orang lain dan sedih
karena ternyata ibu sudah pergi.
Banyak orang yang mengatakan bahwa
kisahku menyedihkan. Tapi bukankah perpisahan memang akan terjadi, bu? Bukankah
kita adalah makhluk Allah dan akan kembali padaNya. Itulah yang selalu ibu dan
ayah tanamkan pada kami. Dan itulah yang membuat ibu dan ayah selalu merelakan
kemanapun anaknya ingin merantau. Ibu dan ayah juga perantau, ayah dari Sumbawa
dan ibu dari Surabaya. Dua kota berawalan huruf S itulah yang menginspirasi dobel
S pada nama belakang kami. Ibu dan ayah paham arti pentingnya sebuah perantauan,
yaitu ‘Kemandirian’. Dan kalian selalu mengatakan, “Terserah kalian mau kemana,
ibu dan ayah ikhlas. Kalian kan cuma titipan dari Allah”.
Bu... aku sudah tidak terlalu sering
menangis lagi. Aku tau bahwa aku harus hidup lebih baik, agar ibu juga bangga.
Aku akan berusaha mewujudkan apa yang ibu inginkan, menjadi seperti yang ibu
harapkan, melanjutkan apa yang ibu kerjakan.
Kamis,
12 Maret 2015
Bu... hari ini tepat 100 hari ibu
meninggalkan kami. Aku sudah mulai terbiasa di rumah ini tanpa ibu. Aku sudah
mulai membersihkan lemari ibu, tumpukan ‘Buku Fisika’ ibu dan barang-barang ibu
yang lain.
Bu... ibu tau kan aku sering bertengkar
dengan ayah. Biasanya saat kami bertengkar, ibu akan menghampiri aku dan “ngadem-ngademi”
hatiku. Kami memiliki prinsip yang sama namun kami juga banyak memiliki kesamaan
sifat keras, itulah yang membuat kami sering cek cok masalah sepele. Sekarang kami
masih sering bertengkar, bu. Namun sekarang kami tidak menggunakan emosi, kami
hanya bertengkar saling ejek saja sebagai guyonan. Kami sering mengingatmu,
menirukan perkataanmu, mencoba melakukan yang biasa kau lakukan, dan kadang kami
pergi mengunjungi rumah barumu.
Bu... ibu yang sabar ya menunggu kami. Tidurlah
dengan tenang untuk sementara waktu. Kami masih harus melewati jam pasir kami
di dunia ini. Ketika saatnya tiba, Titin, ayah, mbak Lia dan mbak Rosa akan
jemput ibu. Dan semoga kelak Allah mempertemukan kita kembali di tempat yang
indah. Aamiin ya rabbal alaamiin.
Ibuku... adalah wanita terindah yang
diberikan Allah kepada kami. Begitu besar kasihmu pada kami, tidak akan pernah
ada orang yang mengalahkan kasih sayangmu terhadap kami.
“Mother how are you today?
Here is a note from your daughter.
With me everything is okay.
Mother how are you today?”
Your daughter
Agustin Ross
sabar ya te
BalasHapusNb : kata meler rancu banget karena orang lain tidak tahu klo meler itu nama sahabat tante
Contoh : menghubungi sahabat qu meler (lebih enak dan orang lain pun faham )
Maav sekedar ngasih saran
Makasih masukannya om yura...
HapusKalo baca tulisan yang ke istana bogor & aceh ada ttg meler tuh disitu.
Tp ntar in syaa Allah titin benerin jg yg d tulisan ini. Nunggu sinyal agak bener yah... :-)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusEh, ada om Bafan.
HapusIya, makasih ya... :-)