Translate

Selasa, 24 Februari 2015

Trip AKAP From Sabang To Medan


Intermezzo

Pagi itu dengan tiba-tiba Danang menghubungi saya dan mengajak jalan-jalan, padahal agak cukup lama kami tidak saling kontak. Mungkin ada yang bertanya, Danang ini siapa sih? Danang ini yang jelas bukan temannya Darto yang sering muncul di tv. Danang yang ini adalah adik kelas saya ketika kuliah dulu. Kami sempat ada kerja bareng dengan Sudi dan Dina, selama 2 bulan tahun 2011 yang basecamp nya di rumah orang tua saya di Jember. Sejak itulah kami dekat. Ibu dan ayah saya bilang, mereka sudah seperti anak sendiri.

"Jalan yuk, mbak" ucap Danang.

"Boleh, kemana?" jawab saya santai, karena saya selalu senang kalau diajak jalan.

"Ke Aceh. Merealisasikan yang tertunda taun lalu." lanjut Danang

Tahun 2013 saya, Danang dan Icha memang berniat pergi ke Aceh, bahkan kami sudah membeli tiket PP yang diuruskan oleh teman saya Meler. Namun tiba-tiba Danang berhalangan, dan menyusul saya harus pergi ke Selayar. Batal lah rencana ke Aceh tahun itu.

“Ogah. Mahal. Yang deket aja, Lampung ato sekitaran Jawa aja. Kerjaan lagi banyak nih.” saya langsung menyahut cepat.

“Lha kan aku sekalian mau datang ke nikahannya Baskoro. Dia nikah sama Vera di Aceh dan gak ada acara ngunduh mantu” yang saya tau memang Danang cukup dekat dengan temannya Baskoro yang juga adik kelas saya.

“Emang Aceh nya dimana?” tanya saya dengan sotoy nya.

“Lhokseumawe.” Jawab Danang

“Males ah, mahal. Kecuali diabayarin ongkos, langsung berangkat saya mah.”

“Yaah... Aku udah coba ajak temen-temen gak ada yang mau. Ya udah, aku bayarin. Tapi sekali jalan aja ya. Pas berangkatnya.”

Saya seneng bukan maen, sampe loncat-loncat di kamar. Yes...  Aceh! Gratis ongkos sekali jalan!


Danang meminta saya mengurus masalah tiket dan akomodasi di Aceh. No problem, masalah tiket ada Meler, teman saya (yang waktu itu ke Istana Bogor bersama saya dan Dimas). Masalah akomodasi di Aceh ada beberapa teman dekat seperti Bang Ijal dan mas Aulia. Bang Ijal sendiri asli Lhokseumawe sedangkan mas Aulia asli Jantho. Bang Ijal dan mas Aulia adalah teman kuliah di Pasca Sarjana dulu. Saya cukup dekat dengan mereka berdua. Mereka sudah seperti abang saya beneran, kadang juga ngasuh saya. Pernah suatu waktu kami pergi ke Dufan, baru datang langsung saya ajak maen roller coaster, mereka berdua langsung mual dan menyerah. Akhirnya mereka berdua lebih memilih duduk sambil nungguin saya yang asyik keliling wahana. Hahahhhaaa... makasih abang-abang saya.


Hari Keberangkatan

Pagi itu awal bulan November 2014, hari yang dinantikan tiba. Danang berangkat dari rumahnya di Klaten sekitar jam 5 pagi. Saya berangkat dari rumah di Bogor jam 7 pagi. Kami janjian bertemu di terminal 1B Soekarno-Hatta, karena pesawat yang akan membawa kami terbang dijadwalkan berangkat jam 11 siang dari sana.


Ternyata pagi itu Danang mengalami pemindahan pesawat sehingga turun di terminal 3. Jadilah saya menunggu dia di salah satu fast food. Sekitar setengah jam menunggu tiba-tiba ada sosok yang membuat saya bengong. Danang datang dengan kacamata rainbow dan sepatu kuning ngejreng cetar membahana. Saya Cuma bisa bengong dan geleng-geleng kepala liat kelakuan bocah ini.


Landing di Banda Aceh

Penerbangan menuju Banda Aceh mengalami transit di Kualanamu, Medan. Setelah terbang selama lebih kurang 3 jam, akhirnya kami sampai juga di Banda Aceh. “Aceh... Aceh... Aceh...” ucap kami. Setelah menunggu semua orang turun, saya dan Danang berlarian menuju tangga turun sambil jejingkrakan. Sepertinya mbak-mbak pramugari bengong ngliat tingkah kami. Kalo lagi urusan kerjaan  dan sendirian kan gak mungkin saya jejingkrakan, paling pas landing cengar-cengir aja, sekalian ngecengin mas-mas ganteng.
Narsis dimana-mana, sampe Diusir sama Mas Penjaga di Bandara Sultan Iskandar Muda


Ryan, adik kelas saya kuliah menjemput kami di bandara Sultan Iskandar Muda. Ryan mengajak kami memasukkan tas ransel ke dalam mobilnya dan mengajak ngopi di kantin bandara. Dan di sinilah saya baru tau  kalau budaya pemuda di Aceh adalah ngobrol sambil ngopi.


Ryan menghubungi mas Aulia untuk mengajak bertemu di tempat makan. Karena saat itu mas Aulia sedang sibuk urusan pekerjaan sehingga tidak bisa menemani kami, jadilah kami diantar kemana-mana dan menginap di rumah Ryan. Lagipula rumah mas Aulia di Jantho, cukup jauh jika kami akan menuju Sabang.

Kami bertemu mas Aulia di tempat makan sate matang. Sate matang ini mirip sate dan gule kambing. Bedanya bumbunya khas Aceh banget, kaya rempah. Selain itu biasanya daging kambing diganti dengan daging sapi karena mempertimbangkan harga daging kambing yang mahal.

Sate Matang Khas Aceh


Lama sekali saya tidak bertemu mas Aulia. Sejak anak pertamanya masih kecil sampe sekarang udah punya anak kedua dan berumur setahun. Kami mengobrol panjang dan lebar ngalor ngidul, tiba-tiba saja sudah maghrib. Kami pun berpisah dan janjian untuk ketemu lagi setelah saya pulang dari Sabang.


Sore itu kami sholat Maghrib di Masjid Raya Baiturrahman. Ketika memasuki area masjid, saya dan Danang heboh mau berfoto, tapi dilarang oleh Ryan. Kata Ryan kalau adzan lelaki gak boleh berkeliaran, harus sholat dulu, kalau cewek kan bisa alesan dapet. Yang bikin saya mulai gak pede adalah ucapan Ryan, "Coba liat deh cewek disini semua pake rok loh". Alamak... macam  mati gaya awak disini. Paling gak enak kan kalau salah kostum di negeri orang.

Menurut Ryan saat itu sedang ada pengetatan mengenai cara berpakaian di Banda Aceh, sehingga banyak Polisi Syariah yang akan berjaga di titik-titik tertentu. Saya sore itu mengenakan celanas jeans, dan di dalam tas saya hanya membawa 1 rok, yang rencananya buat main di laut. Hadeeeh... kenapa gak seorang pun temen Aceh yang mengingatkan. Alasan mereka saya sepertinya sudah tau. Mana saya tau, lha wong anak Aceh di tempat kuliah juga banyak yang pake jeans, ada jg yang gak pake kerudung. Tapi saya masih beruntung karena Ryan mengantar kami kemana-mana menggunakan mobil, jadi bisa lolos dari pandangan mata Polisi Syariah sepanjang jalan.



Malam harinya Danang janjian dengan temen SMA nya yang ternyata baru seminggu penempatan kerja di Banda Aceh, namanya Nida. Berangkat dari rumah Ryan, kami menuju kosan Nida, letaknya tidak jauh dari sekitaran Hotel Hermes. Dari sana kami memutuskan untuk makan mie kepiting di Razali. Mie Razali konon katanya merupakan salah satu tempat makan mie yang paling terkenal di Banda Aceh. Sayangnya pesanan yang kami inginkan sedang tidak ada, kepitingnya lagi kabur dan belum ketangkep. Akhirnya diputuskanlah untuk makan mie biasa dan roti cane. Sambil mengobrol, Ryan sibuk mengatur untuk perjalanan kami keesokan harinya ke Sabang. Dia menghubungi Ema, adik kelas saya yang asli Sabang. Ahamdulillah, mobil sewaan dan driver untuk menemani kami sudah disiapkan. Walaupun pengennya cuma sewa motor aja supaya hemat.
Makan di Mie Razali Bersama Ryan dan Nida


Dari mie Razali, Ryan mengajak kami berkeliling kota, menerangkan daerah-daerah mana yang dulu mengalami kehebohan saat tsunami, daerah warung kopi yang terkenal dan sebagainya. Di Aceh, banyak sekali terdapat warung kopi, mulai dari yang level murah, sedang, hingga high class dengan konsep cafe. Para pemuda disini gemar sekali nongkrong sambil ngobrol di warung kopi. Ryan mengajak kami mampir di salah satu warung kopi. Karena tidak biasa ngopi, saya dan Nida hanya memesan air mineral. Tanpa terasa waktu menunjukkan jam 11 malam, saatnya untuk pulang dan beristirahat karena esok pagi saya dan Danang akan melanjutkan perjalanan ke Sabang.



Pagi-pagi sekali saya sudah mandi, tidak biasanya.... Itu karena saya sangat bersemangat untuk segera menyeberang ke Sabang. Ketika saya sedang berkemas dikamar adik Ryan, Sella, tiba-tiba saya merasa kamar bergoyang-goyang.Saya pun menoleh kanan kiri, Sella segera bangun dari kasur, mengambil kerudung dan keluar kamar. Dasar saya tidak tanggap bencana, saya masih saja bengong, untungnya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Hari itu adalah hari Jumat, tanggal 7 November 2014, terjadi gempa dengan pusat 101 km barat daya Kabupaten Aceh Jaya, pada kedalaman 85 km di bawah permukaan laut dengan skala 5,6 SR, gempa ini dapat kami rasakan hingga di Banda Aceh (keterangan langsung dari http://inatews.bmkg.go.id/new/query_gempa_isu.php). Setelah kami disambut dengan “welcome drink” berupa kopi gayo, rupanya pagi itu kami kembali disambut dengan “welcome dance” berupa gempa. "Welcome to Atjeh".


Sabang

Kami siap berangkat dan sudah di luar rumah, namun tiba-tiba melihat Danang yang mengenakan celana pendek, Ryan menyuruhnya mengganti dengan celana panjang. “Kalau sudah di Sabang baru boleh kalian seenak-enaknya karena di sana kan tempat wisata dan bebas mau bergaya apa”. Olalaaa.... Untung saya gak berniat pergi menggunakan bikini. Ya kali... pake bikini tapi berkerudung, diarak masuk RSJ yang ada.



Saya dan Danang naik kapal ferry dari Pelabuhan Ulee Lheue dengan harga Rp 75.000 per orang menuju Pulau Weh. Banyak orang bingung antara Sabang dan Weh. Saya berikan sedikit penjelasan bagi kalian yang geografinya kurang baik, hahhahahahaa... sok pinter kali lah awak ni. Sabang adalah nama sebuah kota yang terletak di Provinsi NAD. Kota Sabang terdiri dari beberapa pulau, diantaranya adalah Pulau Weh yang merupakan pulau terbesar. Jadi sudah jelas kan anak-anak, perbedaan antara Sabang dan Weh? #obsesijadibuguru.


Gaya dulu di Pelabuhan Bebas, Sabang


Lama waktu menyebrang dari Banda Aceh ke Pelabuhan Bebas, Sabang adalah sekitar 45 menit. Segera kami menghubungi driver yang sudah dipilihkan oleh Ema. Tujuan pertama kami di Sabang adalah Bunker Jepang. Bunker Jepang terletak di Anoi Itam, sekitar 11 km dari Kota Sabang. Sepanjang perjalanan kami melalui jalan yang melintasi Teluk Balohan di bawahnya. Sungguh indah dan membuat kami tidak bisa menahan diri untuk minta berhenti sebentar dan mengambil gambar.


Pemandangan Teluk Balohan dari Jalan Raya


Setelah berjalan sekitar 20 menit, driver menghentikan mobil. Untuk menuju Bunker Jepang, kita harus memarkirkan mobil di jalan raya lalu berjalan kaki di jalan setapak dengan pemandangan bukit di sekitarnya, kemudian menaiki beberapa anak tangga, dan mulai tampaklah si Bunker Jepang.

Bunker Jepang dan Pemandangan di Sekitarnya


Bunker Jepang ini merupakan salah satu markas yang dibuat oleh Jepang ketika mendarat di Aceh. Bunker yang merupakan tempat persembunyian ini letaknya menghadap Selat Malaka. Di dalam bunker juga masih terdapat meriam kuno penginggalan Jepang. Yang membuat bunker ini semakin indah adalah pemandangan laut Selat Malaka yang mempesona, laut biru beradu dengan birunya langit dan hijaunya pepohonan. Bagi yang ingin berwisata kesini, cobalah naik ke atas bunker, pemandangannya benar-benar terlihat indah.


Karena hari itu hari Jumat, kami tidak bisa berlama-lama di Bunker Jepang karena saatnya ibadah sholat Jumat untuk kaum lelaki. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Masjid Raya Sabang, Babussalam. Dalam perjalanan ke masjid, saya mengatakan pada driver bahwa dalam trip orang-orang yang berkunjung ke Sabang, ada beberapa lokasi yang wajib dikunjungi yaitu Bunker Jepang, Pantai Sumur Tiga, Iboih dan tentunya Tugu Kilometer Nol. Driver pun akhirnya mengajak kami untuk berhenti dan mampir melihat Pantai Sumur Tiga dari Casa Nemo Resort. Baru-baru ini saya menyadari bahwa saya, Icha dan Danang tahun 2013 ketika merencanakan pergi ke Aceh sudah memesan kamar di Resort ini bahkan sudah memberikan persekot. Sayangnya rencana saat itu gagal total, beruntungnya semua itu terganti di tahun 2014 (except Icha, soalnya dia gak mau diajak bolos kerja 3 hari, hehehheee...).



Pantai Sumur Tiga dari Casa Nemo Resort



Pemandangan Pantai Sumur Tiga dari resort ini luar biasa indah. Saya sepertinya kehabisan kata untuk memuji pemandangan pantai yang tersaji di pulau ini. Laut yang biru, pantai yang putih, suasana resort yang nyaman, semua bercampur menjadi sajian yang sangat sangat menakjubkan.


Numpang Foto Meskipun Gak Nginep Resort-nya (abaikan model, jika dirasa mengganggu)


Sembari menunggu waktu sholat Jumat, kami duduk-duduk di warung yang terletak di depan Masjid Babussalam, sambil menunggu Ema yang berjanji datang mengajak kami makan siang. Ema akhirnya datang saat Danang dan driver sudah mengikuti sholat Jumat. Note : saat sholat Jumat dan Maghrib, toko-toko di Aceh akan tutup sejenak dan buka kembali seusai ibadah.

Saya dan Ema ngobrol mulai dari jaman kuliah hingga kondisi saat ini. Ema takjub dengan begitu niatnya kami datang jauh-jauh ke Aceh. Jangankan Ema, saya dan Danang sendiri juga takjub dengan ke"niat"an kami berangkat ke Aceh dan hanya berdua saja. Agak sinting sepertinya....


Masjid Babussalam, Sabang



Siang hari semakin terik dan kami melaju mencari tempat makan untuk mengisi perut kami yang kelaparan. Menu masakan Aceh dapat disajikan seperti di Rumah Makan Padang. Namun rasa masakannya jelas berbeda, masakan Padang cenderung pada santan dan lemak sedangkan masakan Aceh bumbunya kaya akan rempah sehingga lebih mirip dengan hidangan India dan Timur Tengah.


Lunch at Sabang with Ema



Perut kenyang jalan-jalan pun dilanjutkan. Tujuan kami selanjutnya adalah Tugu Kilometer Nol, sayangnya Ema harus kembali kerja ke kantor, sehingga tidak bisa ikut bersama kami. Kami mengelilingi Kota Sabang, agak bingung juga melihat kondisi kota yang lenggang. Menurut Ema dan driver kami, toko-toko di Sabang buka pagi, siang tutup, sore atau malam baru buka lagi. Memang cocok singkatan yang sering dibuat orang-orang, Sabang.... SAntai BANGet...



Dalam perjalanan menuju tempat Ema memarkir motor, kami diajak Ema untuk mampir di Tugu Sabang. Kata Ema, Tugu Sabang memiliki kembaran di Merauke. Selagi saya mencari referensi tentang Tugu Merauke saya malah sedih tapi ngakak setelah baca satu blog orang yang niat banget berkunjung ke Sabang dan ke Merauke hanya demi melihat si Tugu Kembar. Intinya adalah si mas-mas tersebut salah antara Tugu Sabang dengan Monumen Kilometer Nol Sabang. Dia kecewa banget karena gak melihat kembaran Tugu Sabang di Merauke yang dipersepsikannya akan seperti Monumen Kilometer Nol di Sabang. Selengkapnya baca aja nih http://backpackstory.me/2014/10/31/saga-pencarian-tugu-kembaran-sabang-merauke/. Saya dan Danang beruntung karena ditemani oleh Ema dan driver yang orang lokal, sehingga bisa membedakan diantara keduanya.


Tugu Sabang, di Depan Kantor Walikota


Setelah mengantar Ema kembali ke parkiran motor, kami melanjutkan perjalanan menuju Kilometer Nol Sabang. Monumen Kilometer Nol Indonesia di Sabang ini hanyalah simbol. Karena lokasi ini bukan merupakan titik ter-barat Indonesia ataupun titik ter-utara di Indonesia. Lokasi ini satu-satunya lokasi saat ini yang memungkinkan untuk memberikan simbol ini dan untuk menarik datangnya wisatawan.


Sedikit sharing, bahwa titik paling utara Indonesia terletak di Pulau Rondo, pulau ini terlihat dari pantai di sekitar Monumen Kilometer Nol. Driver menjelaskan pada kami, menuju Pulau Rondo sangatlah tidak mudah karena tidak memiliki pelabuhan, sehingga harus menyewa kapal jika ingin kesana. Selain itu, Pulau Rondo merupakan pulau tak berpenghuni yang hanya ditempati oleh beberapa orang TNI sebagai penjaga perbatasan. Letak Pulau ini cukup jauh, bahkan hampir memasuki wilayah perairan India. Sedangkan titik ter-barat di Indonesia adalah Pulau Beras, yang terletak di Kabupaten Aceh Besar.


Sekitar jam 4 sore kami tiba di Monumen Kilometer Nol Indonesia di Sabang. Sayangnya saat itu Monumen Kilometer Nol sedang dalam tahap renovasi, sehingga tangganya dihancurkan. Jadilah kami hanya bisa berfoto di tulisan “Kilometer Nol, Indonesia”. Kami juga tidak bertemu si babi hutan yang katanya sering dilihat orang berkeliaran di sekitar monumen.



Semua orang mengatakan bahwa sunset di Monumen Kilometer Nol sangat indah, sayangnya waktu itu kami tidak memutuskan menunggu hingga matahari terbenam. Saat itu kami terburu-buru untuk menuju Iboih dan mencari penginapan. Kadang saya menyesalinya, seharusnya kami menunggu hingga sunset berlalu baru mencari penginapan. Ya sudahlah...


Kilometer Nol Indonesia, di Pulau Weh-Kota Sabang


Sesampainya di Iboih, saya dan Danang segera mencari penginapan. Tujuan kami menginap disini adalah untuk bersnorkling esok paginya di Pulau Rubiah. Driver pun meninggalkan kami, dan esok berjanji menjemput untuk mengantar kami kembali ke Pelabuhan Bebas, Sabang.



Ketika malam tiba, kami berjalan-jalan di sekitar penginapan. Awalnya kami menuju dermaga kecil di Iboih. Ada hal bodoh yang terjadi malam itu. Saya dan Danang berjalan meleng hingga kami berdua menabrak pohon yang dahannya tumbuh horizontal pas dengan kepala kami. Sakit sih,  tapi gak sebanding dengan malunya diliatin banyak orang. Kejedug aja kok jamaah.



Kami juga sempat melihat-lihat di toko oleh-oleh. Setelah menawar berbagai macam barang akhirnya kami membeli beberapa kaos bertuliskan Sabang. Hmm... lebih tepatnya saya mengantar Danang memborong oleh-oleh.



Malam semakin larut, kami pun mencari makan malam. Disini saya dan Danang untuk pertama kalinya ditinggal berdua selama perjalanan ini. Jadilah curhatan dari A-Z mengalir malam itu, mulai dari obrolan jodoh, pasangan hidup, nikah, yaelaah.... itu satu inti deh kayaknya. Dasar dua manusia galau lagi kumpul, ya gini deh jadinya.



Di Sabang, matahari terasa lama sekali munculnya. Jam 6 saya melongok ke jendela, matahari tidak tampak. Sampai akhirnya jam 7 lewat setelah matahari agak tampak, kami memutuskan untuk mulai snorkling di pantai depan penginapan sambil menunggu jadwal menuju Pulau Rubiah.



Dari Iboih menuju Pulau Rubiah hanya perlu menyeberang dengan kapal kecil, nyeberangnya sih gak jauh hanya sekitar 10 menit tapi untuk sekali pergi ke Pulau Rubiah PP diperlukan biaya Rp 100.000,-. Kami memutuskan menyewa jasa guide selain peralatan snorkling dan kamera underwater. 

Alasan utama menyewa guide adalah karena Danang ingin difoto underwater sedangkan saya hanya bisa snorkling posisi floating, tidak bisa menyelam free diving. Wajar sih saya kan perempuan. Berdasarkan ilmu yang saya pelajari perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dibanding laki-laki. Itulah yang menyebabkan perempuan lebih mudah floating di air, sedangkan laki-laki lebih mudah untuk menyelam di air (ini pembelaan diri yang sangat perfect). Dan keputusan kami untuk menyewa guide sangat tepat sekali, karena akhirnya kami dapat menikmati snorkling di pulau ini dengan sangat puas, dokumentasi yang dihasilkan juga tidak mengecewakan. Guide kami pagi itu bernama bang Ibrahim.


Pertama dari arah dermaga Pulau Rubiah kami diajak menuju perairan sebelah kanan untuk melihat ikan nemo. Ternyata lokasi si ikan nemo ini cukup jauh juga mungkin sekitar 300 m. Untungnya kondisi kami saat itu sedang fit sehingga semua berjalan lancar. Pada suatu lokasi bang Ibrahim mengajak kami menyelam melihat si nemo. Bang Ibrahim menarik saya agar bisa tenggelam di dalam air, dan wooo... kami melihat sekumpulan ikan nemo yang sedang bermain di sekitar anemon. Awalnya mungkin mereka merasa terganggu dengan kehadiran kami, salah satu ikan nemo itu bahkan nekat mematok jidat saya. Mungkin maksudnya kecupan selamat datang tanda kasih sayang, tapi itu terasa sakit! Ternyata Danang juga mendapatkan satu kecupan selamat datang dari si nemo. Yes! Sama!!

Karena tidak sadar bersandar di batu-batu yang terdapat banyak teritip badan kami luka-luka tergores si teritip. Oleh-oleh perih, tambahkan sedikit alkohol, akan semakin terasa nikmatnya nyut-nyutan. Dalam perjalanan kembali ke dermaga, kami juga sempat berfoto dengan ikan-ikan kecil berwarna merah dan karang yang bentuknya menyerupai gua yang ditinggali oleh banyak bulu babi.


Snorkling di Sisi Kanan Dermaga Pulau Rubiah



Puas berfoto-foto dengan kumpulan si nemo, kami kembali ke dermaga untuk menikmati sarapan pagi yang sudah kami nantikan dari kemarin yaitu Sate Gurita. Sate Gurita ini merupakan makanan khas Sabang yang sangat tenar. Dari penjelasan Ema hanya ada dua lokasi penjual sate gurita, satu di pusat Kota Sabang satu lagi ya di Pulau Rubiah ini. Jangan lupa menikmati santapan ini setelah berenang ya guys, sangat cocok untuk kelaparan yang menyerang.


Sate Gurita


Snorkling kembali dilanjutkan untuk memberi makan ikan. Kami membawa mie yang dicampur air panas dan dimasukkan dalam botol. Kasian juga sih ikan-ikan ini makan mie, semoga mereka gak maag.



Kali ini snorkling ke arah kiri dari dermaga. Di sisi kiri dermaga kami berenang bersama ikan-ikan yang selalu mengikuti kemana pun kami pergi. Sebenarnya sih mengikuti mie yang kami tebar, biar keren aja saya bilang mengikuti kami. Di dekat dermaga ikan-ikannya berwarna hitam, agak ke tengah mulai berdatangan gerombolan ikan bergaris-garis kuning dan hitam. Pada lokasi snorkling ini kami melihat bangkai mobil di dasar laut dan juga bangkai sepeda. Kami menyempatkan diri untuk berfoto di sekitar sana.

Jujur saya katakan bahwa sepanjang saya bersnorkling di pulau ini saya tidak menemukan lokasi terumbu karang yang menarik, mungkin ini ada hubungannya dengan tsunami yang terjadi di Aceh tahun  2004 silam. Atau  bisa jadi lokasi terumbu karang yang indah itu jauh sehingga bang Ibrahim tidak mengajak kami kesana. Meski begitu kami cukup puas menikmati berenang bersama ikan-ikan jinak di pulau ini.


Snorkling di Sisi Kiri Dermaga Pulau Rubiah



Tidak terasa waktu menunjukkan jam 11 siang, kami harus segera naik ke darat dan berkemas. Karena kami masih memiliki agenda untuk berkeliling Banda Aceh dan malam harinya melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe untuk mengikuti kondangan Baskoro-Vera keesokan harinya. Benar-benar jadwal maen yang sangat padat.



Selesai berkemas, memindahkan foto underwater dan mengurus pembayaran kami pun diantar driver menuju Pelabuhan Bebas, Sabang. Di sana Ema sudah menunggu untuk melepas kami. Gak hanya tangan kosong loh, Ema membawakan kami bakpia khas Sabang satu kardus. Alhamdulilah... rejeki emang gak kemana, kalo jodoh saya lagi dimana ya? Halaah....



Mengenang Tsunami di Banda Aceh

Di Banda Aceh, Ryan sudah siaga 1 untuk mengantar kami ke museum Tsunami dan lokasi terdamparnya PLTD Apung. Kami langsung bertolak menuju Museum garapan Kang Emil. Memang megah sekali bangunan museum ini, sayangnya menurut saya kemegahan bangunan belum bisa diimbangi oleh kemegahan isi di dalam museum. 

Yang menarik dalam museum ini adalah air yang mengalir dari ketinggian, konon katanya itu menunjukkan ketinggian tsunami dahsyat yang terjadi pada tahun 2004. Selain itu di dalam museum juga terdapat dokumentasi kejadian tsunami mulai dari foto, replika kejadian, pengetahuan mengenai tsunami hingga alat demo terjadinya gempa dan tsunami, juga bendera dari berbagai negara yang membantu Aceh pasca tsunami besar yang melandanya. Pada suatu ruangan terdapat nama-nama di dindingnya yang bentuknya melingkar, dan di atas ruangan ini tertulis nama "Allah", benar-benar bagus bangunan ini.
Museum Tsunami Aceh



Melanjutkan ke destinasi berikutnya, kami menuju lokasi PLTD Apung. PLTD ini sebenarnya terletak di laut lepas, namun terseret oleh tsunami hingga terdampar di daratan. Berdasarkan keterangan dari monumen yang ada, PLTD ini memiliki berat 2.600 ton dan terbawa tsunami hingga 5 km ke arah darat. Bisa kita bayangkan betapa hebatnya tsunami yang terjadi saat itu, dan betapa ngerinya hal-hal yang dialami rakyat Aceh saat itu. Subhanallah.
PLTD Apung



Pada PLTD Apung ini dibuat tangga-tangga untuk memudahkan para pengunjung menaiki kapal besar yang terdampar ini. Selain itu di atas kapal juga terdapat teropong untuk menikmati keindahan Aceh. Jika ingin menggunakan teropong, kita harus memasukkan uang koin.

Kami pun kembali mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, karena sebelumnya kami tidak sempat mengabadikan momen di sini. Ketika terjadi tsunami Aceh tahun 2004, banyak penduduk yang berlindung di masjid ini, karena masjid ini merupakan salah satu tempat yang tidak terkena dampak tsunami dengan parah, padahal daerah lain dengan ketinggian sama telah tertutup air. Selain itu bangunan masjid ini juga tidak mengalami kerusakan berat pasca tsunami. Wallahu alam.


Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh


Saat hari pertama kami tiba di Aceh, mas Aulia mengajak kami untuk bertemu lagi sepulangnya kami dari Sabang. Karenanya setelah mengunjungi Museum Tsunami dan PLTD Apung kami menuju salah satu cafe untuk bertemu mas Aulia beserta istri dan anaknya. 


Kongkow with mas Aulia & Istri



Kondangan di Lhokseumawe 

Dini hari Ryan mengantar kami ke terminal L300 dengan tujuan Lhokseumawe. Perjalanan menuju Lhokseumawe ditempuh selama lebih kurang 6 jam. Bang Ijal menyuruh kami berhenti dan menunggu di simpang Masjid Bandara. Dan bang Ijal pun menjemput kami untuk menuju rumahnya.



Kebodohan yang saya lakukan pagi itu adalah bonceng mengangkang saat dijemput bang Ijal. Saya lupa, ketika di Banda Aceh, Ryan sudah mengingatkan cewek gak boleh dibonceng ngangkang apalagi sama cowok, apalagi pake celana jeans. Walhasil memasuki perkampungan bang Ijal lirikan mata-mata kagum melihat saya, seolah-olah saya adalah penjahat yang tertangkap kamera. Untungnya tidak ada yang mewawancarai saya, nanti suara indah saya disamarkan dengan suara donald bebek seperti penjual bakso borak pinggir jalan.



Setelah meletakkan barang bawaan saya minta ijin mandi. Adik bang Ijal membawakan saya kain sarung, katanya untuk basahan. Saya terima saja walaupun gak mudeng artinya apa. Begitu saya masuk kamar mandi, saya bengong. Kamar mandi di rumah bang Ijal sangat luas, ada bak mandi yang besarnya seperti bathtub. Yang bikin saya bingung adalah tidak ada atapnya. Kira-kira kalau kalian lewat dan menaiki kursi bisa kelihatan lah kejadian di kamar mandi. Saya berdiri, duduk, jongkok, masih mikir gimana caranya mandi dan bodohnya saya gak mudeng fungsi dari si kain basahan. Akhirnya saya memutuskan mandi dengan beberapa pakaian masih menempel, baru setelah itu kain basahan saya gunakan untuk penutup saat berganti baju.Ternyata kain basahan itu fungsinya untuk menutupi badan dan baru diguyur air seperti kalau mandi di sungai gitu, bukannya baju yang diguyur air. Titin...Titin....



Jam 7 pagi kami sudah bersiap menuju rumah Vera untuk mengikuti prosesi akad nikah. Karena kekerabatan orang Aceh di kampus kami kental, bang Ijal juga kenal dengan Vera dan langsung mengantar kami kesana. Kami menggunakan 2 motor, saya dengan Danang dan Bang Ijal sendiri. Sekitar jam 7.30 kami sudah duduk-duduk di rumah Vera. Bahkan si pengantin pria “Baskoro” belum keliatan. Sepertinya kami memang lebih rajin.



Akad nikah dimulai sekitar jam 9 pagi. Saya sempat bengong dengan mas kawin yang diberikan. Di Aceh, mas kawin yang diberikan berupa emas dengan satuan manyam, dimana 1 manyam adalah 3,5 gram emas murni. Dan mas kawin yang diberikan Baskoro kalau saya tidak salah mengingatnya adalah 20 manyam. Wuoooowww... Bagi dong!! Oiya, kalau menurut bang Ijal hitungan mas kawin akan didiskusikan terlebih dahulu antara calon pengantin dengan persetujuan keluarga. Semakin tinggi pendidikan dan kedudukan keluarga perempuan Aceh, maka akan semakin mahal mas kawin yang harus diberikan. Dan masih menurut bang Ijal, anak perempuan berikutnya yang akan menikah nilai mas kawinnya harus lebih tinggi dari kakaknya. 


Sang Pengantin


Setelah akad nikah bang Ijal pamit pada kami karena dia harus menghadiri satu kondangan lain dari tetangganya. Dia berjanji untuk menjemput kami setelah Dhuhur dan mengajak kami jalan-jalan di pusat Kota Lhokseumawe. Saya dan Danang pun menunggu berbagai prosesi nikah. Pengantin berganti baju menggunakan baju adat Aceh. Baskoro didandani bak Teuku Umar dan Vera disulap menjadi Cut Nyak Dien. Kemudian keluarga Baskoro di sambut di jalan depan rumah dengan tarian adat yang dimainkan oleh beberapa adik kecil. Setelah itu barulah Keluarga Baskoro kembali disambut untuk masuk ke rumah Vera. Selamat ya pengantin... Semoga jadi keluarga sakinah mawadda, warahmah. Aamiin.


Tarian untuk Menyambut Pengantin Pria


Setelah sholat Dhuhur dan berfoto dengan pengantin, saya dan Danang lama-lama menjadi bosan menunggu bang Ijal tak kunjung datang. Ditelpon pun tak diangkat, mungkin bang Ijal sibuk. Akhirnya kami pamit pada keluarga pengantin, menanyakan arah menuju kota pada orang sekitar dan segera menaiki motor yang dipinjami bang Ijal. Kami melaju dengan kecepatan normal, memandangi kanan dan kiri jalan, melewati sebuah perusahaan gas, melewati jalanan ramai dan bingung karena jalanan kembali sepi. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali putar balik dan mencari tempat bersantai untuk minum es tebu, sambil mencoba menghubungi bang Ijal lagi.


Foto Bersama Pengantin dan Adik Baskoro (sebut saja Candra)


Di sisi lain dari sudut pandang Bang Ijal

Ketika selesai sholat Dhuhur, bang Ijal kembali melaju ke rumah Vera untuk menjemput saya dan Danang. Handphone bergetar tanda ada yang menghubungi, tak terasa olehnya. Sesampainya di rumah Vera, bang Ijal disambut oleh ayah Vera, bersalaman, setelah itu membuka hp. Ada misscall dari saya dan sebuah pesan singkat berisi “Bang, kami jalan dulu ya ke arah kota”. Karena panik, takut kami terkena razia polisi syariah, dimana saat itu lagi-lagi saya mengenakan celana jeans, berboncengan dengan laki-laki yang bukan muhrim, bang Ijal yang baru datang ke rumah Vera dan bersalaman dengan ayah Vera kembali bersalaman untuk pamit. Bang Ijal langsung mengebut ke arah kota. Satu lagi, saya dan Danang kan tidak dibekali STNK motor. Kan gak lucu kalau ketangkep dan dikira maling motor.



Bang Ijal sudah melaju jauh ke arah kota, ketika saya menelpon. 

“Dimana bang?” ucap saya tanpa perasaan bersalah. 

“Ke arah kota, kalian dimana?” jawabnya.

“Tadi kami udah lewat tempat rame trus sepi lagi, itu tadi kotanya kan? Jadi karena bingung kami putar balik dan minum es tebu” begitulah kira-kira penjelasan saya.

“Astaga... itu tadi pusat kecamatan, jadi kalian sekarang dimana?”

“Di dekat perusahaan gas, di kiri jalan. Emang bang Ijal dimana?”

“Saya sudah lewat dari sana tadi. Ya sudah jangan kemana-kemana. Tunggu di sana saja.”



Setelah menunggu sampai Danang memesan es tebu gelas kedua, akhirnya bang Ijal muncul. Dengan geleng-geleng kepala dia bilang “Kalian ini.... Seenak-enaknya aja di daerah orang. Saya ini jaga supaya kalian gak kena razia polisi syariah.” begitu ucapnya. “Emang kalo ketangkep polisi diapain, bang?” tanya saya polos. “Diceramahin, emang kalian gak males lagi mau jalan-jalan malah diceramahin??” Bhahahhahahaaa.... Ngakak saya kalau ingat ini. Untungnya bang Ijal ini orangnya sabar banget.



Ternyata pusat Kota Lhokseumawe cukup jauh juga. Kami pun berkeliling kota tapi melewati jalan lain yang kata bang Ijal sedikit kemungkinan ada polisi syariah berjaga di daerah itu. Kami sempat duduk-duduk sambil ngopi dan ngemil di pinggir danau, keliling kota Lhokseumawe, sholat di masjid tapi bukan Masjid Raya karena Masjid Raya sedang proses renovasi dan akirnya kami makan mie kepiting, yeeahhh. Tercapai juga cita-cita makan mie kepiting di Aceh. Sedap luar biasa...


Mie Kepiting


Dalam perjalanan pulang saya dan Danang minta diantar untuk membeli beberapa oleh-oleh. Saat melihat kerajinan tas di sebuah toko, bang Ijal membisiki saya, “Nanti beli di pengrajinnya langsung aja sama saya, dekat rumah kok”. Akhirnya kami hanya membeli kopi dan beberapa kaos untuk oleh-oleh.


Bukti Otentik Sudah Berkunjung ke Lhokseumawe



Bang Ijal mengantar kami ke pengrajin tas. Ternyata tas Aceh yang beredar, banyak dihasilkan oleh pengrajin dari Lhokseumawe. Saya dan Danang pun heboh memilih dan membeli ini itu buat oleh-oleh. Walhasil bawaan kami yang awalnya hanya ransel dan tas selempang kecil bertambah menjadi sangat banyak.


Pengrajin dan Beberapa Contoh Tas Khas Aceh



Pegal sekali perjalanan hari itu, pertama karena malamnya kami tidak bisa tidur pulas di L300 yang sempit, kedua kami memang tidak sempat istirahat karena langsung menghadiri acara Baskoro-Vera, ketiga saya seharian dari pagi sampai malam dibonceng miring gaya perempuan. Ni tulang belakang rasanya cenat-cenut, ngalahin hatinya SMASH.



Beberapa hari sebelumnya, bang Ijal sudah memesan tiket bus menuju Medan untuk kami bertiga. Kebetulan bang Ijal akan kembali ke Bogor untuk melanjutkan studi S3 nya setelah berlibur pasca anak pertamanya lahir. Setelah berkemas, dan berpamitan dengan keluarga bang Ijal, kami menuju pool bis dengan diantar 3 motor karena saking banyaknya bawaan kami.



Bis sudah terparkir di pool. Saya dan bang Ijal menyelesaikan pembayaran dan membeli minum untuk di jalan. Lalu kami melanjutkan ngobrol. Ternyata si bis trayek Banda Aceh-Medan itu sudah datang dari tadi dan hanya menunggu kami untuk kembali melanjutkan perjalanan. Kami yang tidak ngeh malah ngobrol di bawah. Kalau saya jadi penumpang dalam bis, sepertinya saya bakal gondok tuh sama orang-orang di bawah yang malah ngobrol bukannya buruan naik bis. Hehehheee... maap kagak tau aye pan.



Wisata Singkat di Medan

Bis yang kami naiki sangat nyaman. Kami bisa tidur dengan nyenyak dalam perjalanan kali ini. Sekitar jam 05.30 bis tiba di terminal Medan. Saya pun menghubungi Zabao adik kelas saya yang sedang kerja di Belawan-Medan. Kebetulan sore itu dia sedang ada agenda untuk menjemput Kabidnya di bandara, jadi dia dibawain mobil kantor. Alhamdulilah, rejeki kami juga gak perlu sewa kendaraan selama di Medan.


Barang bawaan yang Beranak-pinak



Dari terminal, kami diantar Zabao menuju kosan Sange teman saya. Sebenarnya nama teman saya ini Angga, tapi karena kelakuannya dia dipanggil Sange deh. Saat itu Sange a.k.a Angga sedang berada di Bogor untuk suatu pekerjaan. Jadi ceritanya kami tukeran. Beruntungnya kunci kosan dia juga dipegang oleh Zabao. 



Lapar mulai menyerang. Sebelum mencari tempat makan, kami browsing dulu apa yang enak di Medan, dan akhirnya memutuskan untuk sarapan Soto Sinar Pagi. Perjalanan kami pun dituntun oleh mbah google map, karena Zabao tidak terlalu hapal jalanan di Medan.


Sarapan di Soto Sinar Pagi



Pulang sarapan , kami kembali ke kosan Sange untuk bermalas-malasan. Dengan seenaknya kami kuasai kamar Sange sambil nonton FTV. Dan Zabao yang termuda diantara kami, dengan amat sangat tau diri berkata :

“Kak, bagi bantal dong.” ucapnya sambil bersiap tidur di lantai. 

“Kok sedih banget sih tidur di bawah.” sahut saya sambil memberinya bantal. 

“Udah biasa kak. Biasanya kalau kak Midi sama kak Sange disini juga gue begini kok. Malah pernah waktu itu kami baru pulang dari ‘Temu Alumni’ tengah malam, kak Midi minta beliin martabak. Trus gue pergi sendiri kak nyari martabak. Gue sampe kosan kak Midi udah tidur, kak.”

Hahhahahahhaaa.... ngakak saya denger curhatan adik kelas yang satu ini. Dia dikerjain sama temen saya. Junior sih... Siapa suruh lahir belakangan! #alabangbob. Tapi kami sayang kok sama adik-adik kelas seperti kalian yang mau direpoti kalo kakak kelasnya lagi maen.


Siang hari setelah mandi dan sholat kami kembali mengemasi barang karena pesawat kami menuju Jakarta akan berangkat jam 8 malam harinya. Sebelum menuju bandara, kami berniat untuk mengelilingi Kota Medan. Tujuan pertama kami hari itu adalah Istana Maimun. Istana Maimun adalah sisa bangunan kerajaan yang berarsitektur perpaduan unsur tradisional Kesultanan Deli, Eropa, Persia, dan India.



Istana yang dibangun di atas tanah ukuran 217 x 200 m ini berada di Jalan Brigjen Katamso. Bangunannya terdiri menjadi 3 bagian, bangunan induk, sayap kiri dan sayap kanan dan betingkat dua yang ditopang oleh 82 tiang batu dan 43 buah tiang kayu dengan lengkungan berbentuk lunas perahu terbalik dan ladam kuda. Atapnya terlihat seperti kubah, terbuat dari atap sirap dan seng. Istana Maimun tampak mewah dan megah, apalagi bila kita melihat beberapa meter dari luar gerbangnya. Namun, suku Melayu yang menjadi identitas Medan secara perlahan mulai hilang dengan sendirinya.

Memasuki bangunan induk, kita juga akan melihat prasasti berbahasa Belanda dan Melayu yang terdapat pada sekeping marmer di kedua tiang ujung tangga naik: DE EERSTE STEEN VAN DIT GEBOUW, IS GELEGD OP DEN 26 AUGUSTUS 1888 DOOR Z.H.DEN SULTAN VAN DELI, MAHMOED EL RASJID PERKASA ALAMSJA. Tulisan tersebut membuktikan, peletakan batu pertama pembangunan Istana Maimun dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alam (dikopi dari warkop http://sumutpos.co/2013/08/64524/melihat-kondisi-istana-maimun-setelah-berusia-125-tahun).


Istana Maimun


Di dalam Istana Maimun hanya tersisa sedikit dari peninggalan kesultanan. Dari yang saya lihat sih hanya ada singgasana, beberapa kursi, dan cermin, saya pun kurang paham ini asli atau hanya replika. Oiya, di dalam istana ini juga terdapat persewaan baju ala pangeran dan putri Kesultanan Deli. Harga sewanya Cuma Rp 10.000 per orang, dipasangin sama mbak-mbaknya dan bebas pake sampe bosen. Sayangnya hari itu hanya saya dan Danang yang berminat memakai pakaian adat Deli, bang Ijal dan Zabao malu-malu kucing. Tapi kucing apa yang segede mereka? Kucing garong?? Kelakuan si kucing garong, kalau liat mangsa mengeong, main sikat main embat mangsa yang lewat...


Foto-foto Gak Penting di Istana Maimum


Saat makan siang tiba, kami memilih TIP TOP Restaurant. Tip Top Restaurant, Lunch room, Bakery and Cake Shop pertama kali berdiri pada tahun 1929 di Jalan Pandu dengan nama Restoran Jangkie, sesuai dengan nama pemiliknya. Kemudian pada tahun 1934 pindah ke Jalan Kesawan dan berganti nama menjadi Tip Top Restaurant. Dulu hingga sekarang, kawasan Kesawan merupakan pusat bisnis dimana banyak kantor pemerintahan perusahaan asing yang berlokasi disini. Pengaruh penjajahan Belanda berdampak pada konstruksi dan gaya interior yang masih dikonservasi hingga saat ini. Awalnya resto ini menjadi tempat berkumpulnya orang Belanda dari perkebunan maupun pemerintahan untuk menikmati breakfast atau sekedar menghabiskan secangkir kopi Robusta lokal dari Sidikalang yang terkenal di sore hari. Setelah Indonesia merdeka, Tip Top perlahan mulai dikunjungi penduduk lokal terutama di kalangan menengah dan atas ( dikopi dari warung http://www.makanmana.net/tip-top-restaurant-lunch-room-bakery-and-cake-shop-medan/).


Kanan Bawah: Ice Cream Moorkop, Salah Satu Andalan Resto


Selanjutnya kami menuju Masjid  Raya Medan. Selain numpang sholat kami juga membuat janji untuk bertemu adik kelas saya yang lain namanya Indah, tapi dipanggil Kibi. Mungkin karena dia tidak benar-benar Indah. Heheheheee... Bcanda, bi. Saya mah suka gitu, kalo becanda suka serius #aladzawin. Kibi ini dulunya satu kosan dengan saya. Suaranya kenceng bak lagi kesasar di hutan dan harus teriak-teriak. Dia juga jago kempo, entah udah 'ban' apa. Bisa jadi dia sudah mencapai ban dalem ato ban luar.

Adik Kelas yang Tertukar


Masjid Raya Medan ini bernama Masjid Al-Mashun, yang merupakan salah satu peninggalan Sultan Deli. Bangunan masjid ini terletak sekitar 200 m dari Istana Maimun. Masjid ini dibangun pada tahun  1906 dengan gaya arsitektur Timur Tengah, India dan Spanyol yang membuktikan kekuatan suku Melayu di Medan.

Masjid Raya Al-Mashun Lengkap dengan Gerbang dan Tempat Wudhu


Setelah bertemu Kibi kami menuju bandara untuk menunggu keberangkatan pesawat, sekaligus bertemu Sange yang landing di Medan sore itu. Bandara Kualanamu sangat besar dan bagus. Kira-kira setara dengan Bandara Sepinggan di Balikpapan. Sangat jauh berbeda dengan Bandara Polonia yang pernah saya kunjungi tahun 2012 silam.



Kami menemui Sange di salah satu kafe bandara setelah melakukan check in. Sudah lama sekali rasanya kami tidak berkumpul antar angkatan dan mengobrol saling hina satu sama lain yang semakin mencairkan suasana. Kami masih menyempatkan diri untuk makan malam hingga akhirnya final call boarding memanggil kami untuk segera naik ke pesawat. 


Kumpul Antar Angkatan di Bandara Kualanamu



Sekitar jam 11 malam, kami bertiga tiba di SHIA. Saya dan bang Ijal melanjutkan perjalanan ke Bogor. Sedangkan Danang tetap di bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja dengan pesawat keesokan paginya untuk kemudian pulang kembali ke Klaten. Maka berakhirlah trip gembel selama 5 hari di ujung barat Pulau Sumatera.



Ini benar-benar trip AKAP (Antar Kota Antar Propinsi), kami melintas dari Jakarta-Banda Aceh-Sabang-Banda Aceh-Lhokseumawe-Medan-Jakarta. Tepar! Yang membuat trip ini semakin menyenangkan adalah reuni dengan alumni PSP-IPB dari angkatan 41-45 hadir semua, sambil ngrepotin mereka pastinya. Terima kasih semua atas sambutan dan kebaikannya buat kami, terutama untuk Ryan, Ema, Bang Ijal, mas Aulia, Zabao, Sange dan Kibi. Semoga silahturahmi ini selalu terjalin yah... *bighug*



nb : maaf kalau terlalu banyak foto manusia dibanding pemandangan, harap maklum karena ini merepresentasikan kebahagiaan kami bisa kumpul-kumpul dan mengunjungi lokasi yang cukup jauh.

1 komentar: